MACAM-MACAM HADITS DITINJAU DARI KUALITASNYA
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu
: Moh. Dzofir, M.Ag.
Disusun Oleh :
Irham Choironi : 1310110208
Khafidlotur Rofiah : 1310110225
Naila Shifwah : 1310110213
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
2014
I.
PENDAHULUAN
Membicarakan tentang pembagian hadits dari segi kualitasnya ini
tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadits menurut kuantitasnya. Hadits
kuantitas dibedakan menjadi, hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits
mutawatir, memberikan pengertian bahwa hadits iru diterima secara yaqin bil qath’i, yakni ia harus
diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian, baik terhadap sanad
maupun matan. Sedangkan hadits ahad hanya sekedar memberikan faidah dzanny
(prasangka) dan karenanya harus diadakan penyelidikan lebih lanjut, baik yang
berhubungan dengan sanad maupun matan hadits, sehingga status hadits tersebut
menjadi jelas diterima sebagai hujjah atau sebaliknya.
Atas dasar di atas kami menulis makalah dengan pembahasan mengenai
pembagian hadits berdasarkan kualitasnya beserta contohnya. Sehingga pembaca
akan memahami tentang antara hadits yang dapat dijadikan hujjah dan yang tidak
dapat dijadikan hujjah.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian hadits maqbul?
2.
Apa
yang dimaksud hadits shahih dan hadits hasan beserta contohnya?
3.
Apa
pengertian hadits mardud?
4.
Apa
yang dimaksud hadits dhaif beserta contohnya?
III.
PEMBAHASAN
Dalam Ulumul Hadits ini dipelajari pembagian hadits baik ditinjau
dari kuantitas hadits maupun kualitas hadits. Adapun hadits ditinjau dari segi
kualitasnya dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu hadits maqbul dan
hadits mardud.
Sedangkan untuk hadits maqbul terdiri atas hadits shahih serta
hadits hasan. Dan yang tergolong dalam hadits mardud yaitu hadits dha’if.
A.
HADITS
MAQBUL
Hadits maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) mushaddiq
(ynag dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang
telah sempurna padanya syarat-syarat penerimaan.[1]
I.
Hadits
Shahih
Kata shahih berasal dari kata shahha dan shihhah
yang berarti sehat, tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim).[2]
Dalam hubungannya dengan kualitas hadits, ulama hadits menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dari awal
sampai akhir, para periwayatnya bersifat adil dan dhabit, serta terhindar dari
kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat). Sifat adil berkaitan
dengan kualitas pribadi, sedangkan sifat dhabit berkaitan dengan kapasitas
intelektual.[3]
Sedangkan menurut Ibn As-Shalah hadits shahih adalah hadits musnad, yakni
hadits yang sanadnya bersambung dengan proses periwayatan oleh orang yang adil,
dan melalui orang yang adil dan dhabit hingga akhir sanad, tidak syadz dan
tidak pula cacat.[4]
Berdasarkan definisi di atas dapat ditarik sebuah simpulan bahwa
hadits dapat dinilai shahih jika memenuhi lima kriteria sebagai berikut:
a)
Sanadnya
bersambung (ittishal al-sanad)
Yang dimaksud
dengan sanad bersambung adalah pertalian atau rangkaian sanad dari nabi hingga
sanad terakhir atau perawi tersebut bersambung (muttashil), tidak
terjadi keguguran atau tida terputus (ghair munqathi’) dalam jaringan
sanad atau sistem riwayat. Menurut Imam Bukhari sanad hadits dikatakan
muttashil apabila di antara perawi yang terdekat adalah para rijal yang pernah
bertemu langsung (liqa’ dan wushul) dalam penerimaan hadits.
Sedangkan menurut Imam Muslim sanad hadits dikatakan muttashil apabila di
antara rijal perna hidup dalam satu masa (mu’asharah).[5]
b)
Diriwayatkan
oleh perawi yang bersifat adil (‘adalah al-ruwah)
Kata adil
berasal dari bahasa Arab yakni ‘adl, yang berarti pertengahan; lurus; atau
condong kepada kebenaran.[6]
Dalam kriteria hadits shahih yang dimaksud sifat adil adalah adil dalam hal
riwayat, yang berarti bahwa orang yang meriwayatkan hadits merupakan muslim,
baligh, tidak melakukan dosa besar atau dosa kecil, serta menjaga kepribadian (muru’ah)
dalam semua keadaan dari kebiasaan yang dianggap bernuansa kurang laik, baik
secara etis maupun estetis, baik secara moral maupun sosial, seperti kebiasaan
makan di pinggir jalan, kebiasaan tidak menutup kepala, dan sebagainya. Jika
dalam isnad muttashil terdapat orang non muslim, maka haditsnya tidak diterima
(mardud). Akan tetapi periwayat ketika menerima hadits boleh saja tidak
dalam keadaan memeluk agama Islam, asalkan ketika menyampaikan riwayat, dia
telah memeluk agama Islam. Sebagaimana pendapat al-Nawawi dalam Syarh Muslim,
bahwa riwayat dari orang kafir harus ditolak, kecuali ia telah masuk Islam.[7]
Menurut
Ibn-Hajar al-‘Asqalani (wafat 852H/ 1449M) yang pendapatnya oleh dijelaskan
oleh ‘Ali al-Qari (wafat1014H), yakni perilaku atau keadaan yang merusak sifat
adil yang termasuk berat adalah suka berdusta (al-kadzib); tertuduh
telah berdusta (at-tummah bil-kadzib); berbuat atau berkata fasiq tetapi
belum menjadi kafir (fisq); tdak dikenal jelas pribadi dan keadaan
seseorang sebagai periwayat hadits (al-jalalah); dan bebbuat bid’ah yang
mengarah pada fasq tetapi belum menjadikannya kafir (al-bid’ah).[8]
c)
Para
perawinya sangat kuat daya ingatnya (dlabith al-ruwah)
Arti harfiah
dhabit ada beberapa macam, yakni dapat berarti kokoh, yang kuat, yang tepat,
dan yang hafal dengan sempurna.[9]
Dan maksud dengan dhabit bagi perawi dalam kaitan ini adalah kepemilikan
seseorang akan daya ingat yang kuat, tingkat auditasnya tinggi, sekira apa yang
didengar dari orang lain adalah benar-benar terekam dalam memorinya dan siap
diproduksi sewaktu-waktu.
Dhabit
dibedakan menjadi dua yaitu:
Ø Dhabit fi al-shadr yaitu terpeliharanya periwayatan dalam ingatan,
sejak dia menerima hadits sampai meriwayatkannya kepada orang lain.
Ø Dhabit fi al-kitab yaitu trepeliharanya kebenaran suatu periwayatan
melalui tulisan.
Terkumpulnya
sifat adil dan dhabit merupakan sifat tsiqah, yakni sifat dapat
dipercaya, diakui, kredibel, mendapatkan pengakuan dari khalayak.[10]
Menurut Ibn
Hajar al-‘Asqalani yang pendapatnya dijelaskan oleh ‘ali al-Qari juga, perilaku
atau keadaan yang dapat merusak ke-dhabit-an periwayat adalah dalam merwayatkan
hadits banyak salahnya daripada benarnya; lebih menonjol sifat lupanya daripada
hafalnya; riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-wahm);
riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat-periwayat tsiqah; dan jeleknya hafalannya walaupun ada sebagian
riwayatnya itu benar.[11]
d)
Tidak
memiliki cacat dan cela (‘adam al-‘illah), baik sanad maupun matannya
‘Illat menurut
bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Sedangkan menurut
istilah ‘illat berarti suatu sebab tersembunyi atau samar-samar, yang karenanya
dapat merusak keshahihan hadits.[12]
Yang dimaksud dengan sifat tidak ada cacat dalam suatu hadits adalah bahwa
tidak diketahui cacat isinya maupun lafadznya. Sifat ini terkadang dikatakan
dengan sebutan ghair mu’allal. Dan kebalikan dari sifat cacat (‘illat)
adalah sifat sehat (shihhah).
e)
Tidak
ada keganjilan (‘adam al-syudzudz), terutama dari segi matan
Yang dimaksud
dengan ungkapan tidak syadz atau tidak syudzudz adalah baik perawi hadits
maupun hadits yang diriwayatkan tidak dinilai janggal atau aneh oleh perawi
lainnya. Kriteria inilah yang disebut dengan ghair al-syudzudz.
Sedangkan menurut pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i (wafat 204H/
820M) hadits syudzudz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah,
tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak
periwayat yang tsiqah.[13]
Contoh hadits
shahih:
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير
بن معطم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم قرأ في المغرب بالطور
Setelah diteliti
secara seksama hadits tersebut diketahui sebagai hadits shahih koleksi Imam
Bukhari ra., karena didapati indikator sebagai berikut:
·
Sanadnya
bersambung, indikatornya adaalah unsur ‘an’anah, yakni menggunakan perangkat
huruf ‘an atau min yang berarti melalui atau dari.
·
Para
perawunya adalah dhabit dan adil berdasarkan penilaian para ulama, yaitu:
1.
Abdullah
adalah tsiqah.
2.
Malik
adalah seorang penghafal hadits (hafidh).
3.
Ibn
Syihab az-Zuhri adalah seorang ahli fiqh kenamaan, al-hafidh.
4.
Muhammad
ibn Jubair adalah tsiqah.
5.
Jubair
ibn Muth’im adalah seorang shahabat.
·
Tidak
syadz karena tidak ada riwayat lain yang lebih kuat.
·
Tidak
ada cacat.
Macam-macam hadits shahih:
1.
Shahih
lidzatihi (shahih karena dirinya sendiri);
2.
Shahih
lighairihi (shahih karena dukungan dari
lainnya).
Menurut ibn al-Shalah tingkatan hadits shahih secara berurutan,
yaitu sebagai berikut:
1.
Hasil
kesepakatan Imam Bukhari dan Imam Muslim;
2.
Hasil
koleksi Imam Bukhari;
3.
Hasil
koleksi Imam Muslim;
4.
Seluruh
hadits yang telah memenuhi kriteria yang ditawarkan oleh keduanya tetapi belum
ditakhrij;
5.
Seluruh
hadits yang telah memenuhi kriteria Imam Bukhari tetapi belum ditakhrij;
6.
Seluruh
hadits yang telah memenuhi kriteria Imam Muslim tetapi belum ditakhrij;
7.
Seluruh
hadits yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti ibn
Khuzaimah dan ibn Hibban.[14]
Mengenai tingkat keshahihan para perawi dalam aspek sanad para
ulama masih brsilang pendapat. Di antaranya ada yang berpendapat bahwa tingkat
keshahihan isnad para perawi adalah sebagai berikut:
1.
Hadits
yang diriwayatkan oleh ibn Syihab az-Zuhri dari Salim ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar
dari ibn ‘Umar.
2.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Sulaiman al-‘Amasy dari Ibrahim al-Nakha’i dari’Alqamah
ibn Qais, dari ‘Abdullah ibn Mas’ud.
3.
Menurut
Imam Bukhari, hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’ Maula ibn ‘Umar dari ibn ‘Umar.[15]
II.
Hadits
Hasan
Secara harfiah kata hasan atau hasanah brarti bagus,
baik (khair) atu terpuji (mahmud) yang berlawanan dengan kata sayyi’ah
atau madzmumah. Selanjutnya, yang dimaksud dengan hadits hasan adalah
hadits yang sanadnya bersambung, dari awal sampai akhir, para periwayatnya
bersifat adil namun ke-dhabit-annya agak kurang sedikit, serta terhindar dari
kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat). Perbedaan pokok antara
hadits shahih dan hasan dalam hal ini dalah pada ke-dhabit-an periwayat. Pada
hadits shahih, kualifikasi ke-dhabit-an periwayat bertingkat sempurna,
sedangkan hadits hasan ke-dhabit-an periwayat itu kurang sedikit, namn
kekurangannya tidak sampai menjadikan hadits yang diriwayatkan berkualitas
lemah.
Ulama hadits hasan menjadi dua macam, yakni hasan lidzatihi
(hasan dengan dirinya sendiri) dan hasan lighairihi (hasan karena
dukungan dari lainnya).
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dan dapat dipraktikkan pesannya
sebagaimana hadits shahih. Hanya kadarnya tidak sekuat kualitas hadits shahih.
Menurut jumhur ulama, status kehujjahan hadits hasan seperti hadits shahih,
namun ia berada di tengah-tengah antara hadits shahih dan hadits dhaif. Menurut
ibn Taymiyah, hadits hasan di bawah hadits shahih. Jika keduanya terjadi
perbedaan atau bahkan betentangan, maka harus didahulukan hadits shahih.[16]
Contoh:
حدثنا أبو كريب
حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله
صلى الله عليه و سلم: لو لا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Hadits tersebut
mempunyai sanad yang bersambung tetapi di dalamnya terdapat nama Muhammad ibn
‘Amr, yang di satu pihak terkenal dengan kejujurannya, tetapi tidak memperoleh
kepercayaan di pihak lain, hingga sebagian masyarakat memandangnya lemah dalam
segi tingkat hafalan yang dimilikinya.[17]
B.
HADITS
MARDUD
Mardud menurut bahasa adalah “yang ditolak” atau “yang tidak
diterima”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat atau sebagian syarat hadits maqbul”.[18]
Ø Hadits Dhaif
Kata dha’if berarti lemah, lawan kata dari kuat (quwwah). Adapun
yang dimaksud dengan hadits dhaif atau lemah adalah hadits yang tidak memenuhi
sebagian atau seluruh syarat hadits shahih dan hasan.[19]
Al-Baiquni merumuskan pengertian hadits dhaif yang diterangkan melalui syairnya
berikut ini:
(Dan setiap hadits yang tidak mencapai derajat hadits sebagai
hadits hasan mkaa adalah hadits dhaifvyang akan terbagi menjadi beberapa macam)
Berbagai macam
bentuk hadits dhaif muncul karena adanya faktor yang berbeda-beda. Dengan
demikian jumlah hadits dhaif menjadi banyak. Alasan atau faktor terjadinya
hadits dhaif adalah sebagai berikut:
1.
Karena
keterputusan sanad (Inqitha’ al-isnad)
Hadits yang sanadnya tidak
bersambung (munqathi’), baik di tengah sanad maupu dengan Nabi Muhammad
SAW, dinilai sebagai hadits lemah atau hadits dhaif. Di antara hadits-hadits
dhaif yang diketahui karena terputus sanadnya adalah sebagai berikut:
a)
Hadits
Mursal
Secara harfiah kata mursal berarti terlepas, dilepaskan,
terbebas atau dikirim. Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan oleh
Tabi’in kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan nama shahabat yang membawa
hadits. Misalnya seorang Tabi’in berkata: “Nabi SAW bersabda demikian...”
tanpa menerangkan sumbernya dari shahabat, misalnya dari Abu Hurairah dan
sebagainya. Contohnya:
و عن عبد الله بن أبي بكر رحمه الله أن في الكتاب الذي كتبه
رسول الله صلى الله عليه و سلم لعمرو بن حزم: أن لا يمس القرآن الا طا هر (رواه
مالك مرسلا) ووصله ألنسائي و
ابن حبان وهو معلول
(...
Bahwa di dalam al-Kitab (al-Qur’an) yang ditulis oleh Rasululullah SAW untuk
‘Amr ibn Hazm terdapat tulisan “Hendaknya tidak menyentuh al-Qur’an kecuali
orang yang suci”.)
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Malik secara mursal. Ditinjau dari segi sanad,
hadits tersebut adalah mursal, karena diketahui bahwa ‘Abdullah ibn Abi Bakar
adalah seorang Tabi’in tetapi meriwayatkan hadits langsung dari Rasullah SAW.
hal ini menunjukkan ada perawi dari shahabat ang gugur atau terlepas dalam
sistem isnad, karena ‘Abdullah tidak menyebutkan nama shahabat yang
menyampaikan hadits kepadanya dalam sanad, tetapi langsung dikatakan dari
Rasullah, maka itulah yang dinamakan mursal.[20]
b) Hadits Munqathi’
Munqathi’ adalah isim fa’il dari
al-inqitha’ berarti lawannya bersambung (putus).[21]
Secara istilah hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur sanadnya di satu
tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak
dikenal namanya.[22]
Contoh:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا اسماعيل
بن ابراهيم و أبو معاوية عن ليث عن عبد الله بن الحسن عن أمه عن فاطمة بنت رسول
الله صلى الله عليه و سلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه و سلم
اذا دخل المسجد يقول بسم الله و السلام على رسول الله اللهم اغفر لي و افتح لي أبواب
رحمتك و اذا خرج قال بسم الله و السلام على رسول الله اللهم اغفر لي ذنوبي و افتح لي
أبواب فضلك
(...
dari Fatimah binti Rasullah SAW, katanya: “Rasulullah SAW ketika masuk masjid selalu membaca (do’a) “Dengan
nama Allah, semoga salam teruntuk Rasullah, ya Allah, berikanlah ampunan
untukku dan bukalah untukku pintu rahmat-Mu”. Dan ketika keluar masjid beliau
berdo’a “Dengan nama Allah. Semoga salam teruntuk Rasulullah, ya Allah,
berikanlah ampunan untukku dan bukalah untukku pintu fadhal-Mu) HR. Ibn Majah
Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang gugur atau hilang,
hingga terjadi terputusnya riwayat. Dinyatakan dalam sanad bahwa ibi ‘Abdulllah
ibn al-Hasan (Fatmah bibti Husain) menerima hadits dari Fatimah binti
Rasulullah SAW. Hal itu jelas tidak mungkin terjadi karena ibu ‘Abdullah tidak
mungkin berjumpa dengan Fatimah binti Rasullahn karena masa hidupnya berbeda
jauh. Hingga diketahui bahwa dalam sanad tersebut terdapat perawi yang gugur di
antara dua Fatimah tersebut sehingga jelas terputus sanadnya.[23]
Hukum hadits munqathi’ adalah dhaif, karena tidak diketahui keadaan rawi
(periwayat) yang dibuang.[24]
c)
Hadits Mu’allaq
Mu’allaq berarti digantungkan. Hadits mu’allaq adalah hadits yang seseorang atau
lebih secara berurutan dalam sanad dinyatakan hilang. Status hadits ini adalah
dhaif kecuali ditemukan dalam buku yang sudah jelas status keshahihannya.
Contoh:
قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم: طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
(Rasulullah Saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap
muslim dan muslimah)
Hadits tersebut ditulis tanpa disebutkan
sanad maupun perawinya, tetapi cukup dinyatakan dengan “Rasulullah SAW
bersabda”.
d) Hadits Mu’adhdhal
Hadits mu’adhdhal adalah hadits yang dua
orang atau lebih dalam sanadnya tidak ada (majhul), karena hilang atau tidak disebutkan. Contoh:
أخبرنا
أبو بكر بن الحسن القاضي حدثنا أبو العباس الأصم أنبأ الربيع أنبأ الشافعي أنبأ
سعيد بن سالم عن بن جريج أن النبي صلى الله عليه و سلم كان اذا رأى البيت رفع
يديه ... (رواه البيهقي)
(Kami memperoleh
khabar dari Abu Bakar Ibn al-Hasan al-Qadhi dari Abu al-‘Abbas al-Ashamm dari
ar-Rabi’ dari as-Syafi’i dari Sa’id ibn Salim dari ibn Juraji, “Bahwa Nabi Saw
ketika melihat Baitullah selalu mengangkat kedua tangannya...”) HR. Al-Baihaqi
Sanad
hadits tersebut adalah al-Baihaqi dari Abu Bakar ibn al-Hasan Al-Qadhi dari Abu
al-‘Abbas al-Ashamm dari ar-Rabi’ dari as-Syafi’i dari Sa’id ibn Juraji, (dari
Rasullulah SAW). Dengan jelas dapat diketahui bahwa ibn Juraji adalah perawi
yang tidak sezaman dengan Rasulullah SAW, karena ia adalah dari generasi
pengikit tabi’in (Tabi at-Tabi’in). Dengan demikian sebenarnya ada dua perawi (dari dua generasi) yang
hilang di antara ibn Juraji dan Rasulullah, yaitu perawi dari tabi’in dan
perawi dari shahabat. Dua perawi yang tidak disebutkan tersebut adalah
berurutan generasinya. Oleh karena itu hadits tersebut tidak boleh dijadikan
hujjah, baik untuk hukum maupun lainnya karena terjadi i’dhal dalam sanadnya.[25]
e) Hadits Mudallas
Hadits
mudallas adalah hadits yang terdapat perawi yang digugurkan oleh seorang perawi
secara sengaja dengan maksud untuk menutupi aibnya. Adapun perawi yang
melakukan penutupan aib perawi tersebut (gurunya) dinamakan mudallis, sedangkan perbuatannya dinamakan tadlis.
Ada
dua macam hadits mudallas, yaitu:
1.
Tadlis al-Isnad
Yaitu
bentuk periwayatan yang dilakukan oleh perawi berasal dari orang sezamannya
tetapi tidak pernah bertemu, atau dari orang yang pernah ditemui tetapi tidak
oernah menerima hadits darinya, dengan bentuk keraguan seakan-akan ai menerima
atau mendengar hadits dari perawi sebelumnya. Contoh:
Dari an-Nu’man ibn Rasyid dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, darin’Aisyah
ra. “Bahwa Nabi SAW tidak pernah memukul wanita sama sekali, dan tidak pula
kepada pembantu kecuali untuk berjihad di jalan Allah” (HR. Ibn Abi Hatim)
Dari hasil
pengamatan terhadap sanad tersebut diperoleh pengetahuan bahwa az-Zuhri
menerima riwayat dari ‘Urwah. Pengetahuan berdasarkan sanad tersebut
seakan-akan bisa diterima dan dibenarkan karena hubungan antara keduanya sudah
menjadi kebiasaan dalam proses periwayatan hadits, dimana az-Zuhri menerima
hadits dari ‘Urwah. Tetapi dalam konteks hadits tersebut tidak demikian halnya.
Menurut Hatim (periwayat akhir), informasi yang benar adalah hadits tersebut
diriwayatkan oleh ‘Uqail dari az-Zuhri dari ‘Ali ibn Husain, bahw Nabi SAW
...,hadits tersebut juga diriwayatkan oleh ats-Tsauri dan Amr ibn Abi Qais dari
Manshur dari az-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah ra., semntara riwayat az-Zuhri
menunjukkan bahwa Hisyam ibn ‘Urwah menyampaikan riwayat dari ayahnya dari
‘Aisyah ra. Informasi tersebut terkandung maksud bahwa az-zuhri tidak mendengar
riwayat (hadits di atas) dari ‘Urwah, tetapi sebenarnya di antara keduanya tentang
hadits di atas terdapat perawi yang tidak disebutkan, yaitu Hisyam.[26]
2.
Tadlis
Syuyukh
Yaitu bila seorang
rawi meriwayatkan suatu hadits yang didengarnya dari seorang syekh lalu dia
memberi nama atau memberi nama panggilan atau menasabkan atau mensifati dengan
sifat yang tidak dikenal, dengan maksud supaya syekh tersebut tidak dikenal.
Contoh: Perkataan Abu Bakar bin Mujtahid salah satu imam Qurra’ sebagai
berikut: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdullah”, yang
dimaksud adalah Abu Bakar bin Abi Dawud al-Sijistany.
v Tujuan-tujuan yang mendorong berbuat tadlis
Ø Tujuan yang mendorong tadlis syuyukh
§ Lemahnya syekh atau tidak tsiqahnya syekh tersebut.
§ Meninggalnya paling terakhir dibandingkan dengan syekh-syekh yang
lain yang sekelompok dengannya.
§ Umurnya lebih muda dibandingkan dengan rawi yang meriwayatkan
hadits padanya.
§ Banyaknya riwayat dari padanya maka ia tidak suka memberbanyak
menyebut namanya dalam satu bentuk.
Ø Motif yang mendorong tadlis isnad
§ Agar disangka sebagai sanad yang tinggi.
§ Terlewatinya suatu bagian hadits dari syekh yang didengarnya.
§ Tiga motif pertama yang tersebut dalam tadlis syuyukh.[27]
2.
Karena
tiadanya sifat adil
a)
Hadits
Maudhu’
Secara bahasa
al-maudhu’ adalah isim maf’ul dari wadha’a-yadha’u-wadh’an
yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’
wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan at-tarku (ditinggal). Sedangkan secara
istilah hadits maudhu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW
secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat, atau
menetapkannya.[28] Contoh: Maisarah bin Abi Rabbihi, ibn Hibban
meriwayatkan mengenai hadits-hadits maudhu’ dari ibn Mahdy, ia berkata: “Aku
bertanya kepada Maisarah bin Abi Rabbini: ‘Darimana kamu mendatangkan
adits-hadits dhaif ini “Barangsiapa yang membaca seperti ini maka ia
akanmendapat seperti ini?’ ia menjawab: “Sengaja aku buat untuk merangsang
manusia”.[29]
b)
Hadits
Matruk
Hadits matruk adalah
hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta terhadap hadits
yang diriwayatkannya), atau nampak kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada
perkataannya, atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.[30]
Contoh: Hadits Amir bin
Syamir al-Ju’fy al-Kufy al-Syi’i dari Jabir dari Abu Thufail dari Ali dari Amar
kedua berkata: Adalah Nabi SAW berqunut dalam shalat fajar dan bertakbir pada
hari Arafah dari shalat pagi hari dan memtuskan pada shalat Ashar di akhir
hari-hari Tasyriq.[31]
c)
Hadits
Munkar
Ulama hadits
mendefisinikan dengan macam-macam, yang paling terkenal adalah dua definisi,
yaitu:
§ Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar hadits munkar adalah
hadits yang dalam riwayatnya terdapat rawi yang sangat jelek hafalannya atau
banyak kesalahan atau nampak sifat fasiqnya.
§ Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dhaif menyelisihi rawi
yang terpercaya.
Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn
Abi Hathim melalui jalan Hubaib bin Hubaib az-Ziyat dari Abi Ishak dari
al-Aizar bin Huraits dari ibn Abbas dari Nabi SAW beliau bersahabat “Barangsiapa
yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dan menunaikan haji dan berpuasa
dan menjamu orang lemah maka ia akan masuk surga”. [32]
3.
Karena
tiadanya dhabit
a)
Hadits
Mudraj
Adalah hadits yang
menampilkan redaksi tambahan, padahal bukan bagian dari hadits.
Macam-macam hadits idraj
§ Idraj fil matan yaitu tambahan dalam sanad, bisa di awal, tengah, atau akhir.
§ Idraj fis sanad, bisa terjadi seorang rawi memasukkan suatu sanad padahal bukan
termasuk sanad dari hadits tersebut, atau seorang rawi memasukkan matan hadits
pada sanad yang bukan sanadnya.[33]
Contoh: Kisah Tsabit bin Musa,
seorang zuhud dalam suatu riwayat ia mengatakan “Barangsiapayang banyak
shalat pada malam hari maka menjadi baguslah wajahnya pada waktu siang
harinya.” Dan asal kisahnya adalah bahwa Tsabit bin Musa memasuki pada
Syarik bin Abdullah al-Qadhi, sedang beliau tengah mendiktekan suatu hadits
seraya berkata, “Telah bercerita kepada kami al-A’masy dari Abu Sufyan dari
Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW. Lalu ia berdiam diri agar
orang didiktekan mencatatnya, maka ia melihat Tsabit, ia berkata. “Barangsiapa
banyak shalat pada malam hari maka wajahnya menjadi bagus pada waktu siang
harinya.” Dan ia memaksudkan yang demikian it pada Tsabit karena zuhudnya
dan wara’nya, lalu Tsabit mengira bahwa hal itu merupakan matan sanad hadits
tersebut.[34]
b)
Hadits
Maqlub
Adalah hadits yang
lafadz matannya tertukar pada oleh salah seorang perawi, atau seseorang pada
sanadnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya, yang seharusnya disebut
belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau
dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.[35]
Contoh: Hadits yang
diriwayatkan oleh Hammad bin ab-Nashiby dari al-A’masy dari abi Shalih dari Abu
Hurairah secara marfu’: “Apabila kamu sekalian bertemu dengan orang-orang
musyrik maka janganlah kamu memulai salam labih dulu,” Hadits ini adalah
maqlub, ditukar oleh Hammad, lalu dijadikan dari al-A’masy, akan tetapi yang terkenal adalah dari Suhail bin Abi
Shalih dari bapaknya dari abu Hurairah.[36]
c)
Hadits
Mudhtharib
Adalah hadits yang
diriwayatkan dengan bentuk yang bebeda-beda padahal dari satu perawi (ynga
meriwayatkan) dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan.
Kerancuan (idhthirab) ini bisa terjadi di sanad dan matan atau sanad dan
matan secara bersama-sama.
Contoh:
ان النبي ص.م وأبا بكر و عمرو فكنوا يفتتيمون القراءة بالحمد لله رب
العالمين
Menurut Ibn abd Al-Barr
bahwa hadits tersebut banyak dengan lafadz yang berbeda-beda dan saling dapat
bertahan, yakni dapat ditarjihkan maupun dikompromikan. Antara lain dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad An-Nasa’i. Ibn Khuzaimah yang juga
bersumber dari Anas ra. dengan susunan redaksi: “Mereka semua tidak mengeraskan
bacaaan bismillahirabbil’alamin”. Di samping itu juga ada beberapa rawi
yang meriwayatkan, bahwa para sahabt membaca basmalah dengan keras:
فكانوا يجهرون بسم الله رب العالمين
Tiga hadits in sama-sama disandarkan pada Anas ra. maka tidak
mungkin ditarjih karena dari sisi sanad juga sama-sama tsiqah.
d)
Hadits
Mushahhaf dan Hadits
Muharraf
-Hadits mushahhaf yaitu:
ما وقع فيه التغييرفي اللفظ اوالعمنى
“Terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya”.
Tashif ini
terjadi di matan juga di sanad. Contoh tashif fil-matan adalah hadits
abu Ayyub Al-Anshary : Bahwasanya Nabi SAW bersabda:
من صام رمضان واتبعه ستا من الشوال كان كصيام الدهر
Perkataan sittan yang berarti enam oleh Abu Bakr Al-Shauly
dirubah menjadi syaian yang berarti sedikit. Adapun tashif fis-sanad misalnya
nama sanad Ibnu Al-Badzar diubah Ibnu Al-Nadzar.
-Hadits muharraf
ما مواقعت المخالفة فيه بتغيير الشكل في الكلمة مع بقاء صورة الخط
“hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan
syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya”
Tahrif adakalanya
terjadi pada matan dan juga pada sanad. Contoh tahrif pada matan adalah
hadits Jabir:
رمي أبي يوم الأحزاب عاى اكحله...
Ghandar mentarifkan kata Ubayy pada hadits tersebut dengan Abi
(artinya bapakku), padahal sesungguhnya Ubayy (yakni Ubayy ibn Ka’ab). Kalau
pentahrifan Ghandar ini diterima, berarti orang yang dihujani panah adalah
ayahnya Jabir, padahal ayah Jabir telah meninngal di perang uhud yang terjadi
sebelum parang Ahzab.[37]
4.
Karena
kejanggalan dan kecacatan
a)
Hadits
Syadz
Adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan matannya dengan
periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama. Contoh: Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abdul Wahid ibn Ziyad dari
al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ “Apabila salah
seoarang di antara kamu sekalian akan shalat subuh maka berbaringlah kesebeh
kanan”, Al-Baihaqy menyatakan bahwa abdul wahid menyalahi banyak rawi dalam
masalah ini, karena para manusia meriwayatkannya dari perbuatan Nabi SAW bukan dari perkataannya, dan
sendirinya Abdul Wahid dari kalangan rawi-rawi tsiqat teman-teman al-A’masy
dengan lafadz ini.[38]
b)
Hadits
Mu’allal
Adalah hadits yang
diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada
lahirnya nampak selamat dari cacat. Contoh: Hadits Ya’la bin Ubaid, dari
Ats-Tsaury dari Amru bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ “dua orang yang
berjual beli itu boleh berhiyar” Abu Ya’la mengira atas Sufyan Ats-Tsaury
dalam perkataaannya “Umar bin Dinar” bahwasanya dia adalah Abdullah bin Dinar.[39]
IV.
KESIMPULAN
Hadits maqbul terdiri dari hadits shahih dan hadits hasan. Hadits
shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dari awal sampai akhir, para
periwayatnya bersifat adil dan dhabit, serta terhindar dari kejanggalan (syudzudz)
dan cacat (‘illat). Sifat adil berkaitan dengan kualitas pribadi,
sedangkan sifat dhabit berkaitan dengan kapasitas intelektual. Yang dimaksud
dengan hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung, dari awal sampai
akhir, para periwayatnya bersifat adil namun ke-dhabit-annya agak kurang
sedikit, serta terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat).
Yang tergolong dalam hadits mardud yaitu, hadits dhaif. Adapun yang
dimaksud dengan hadits dhaif atau lemah adalah hadits yang tidak memenuhi
sebagian atau seluruh syarat hadits shahih dan hasan.
Alasan atau faktor
terjadinya hadits dhaif adalah sebagai berikut:
1.
Karena
keterputusan sanad (Inqitha’ al-isnad)
a.
Hadits
Mursal
b.
Hadits Munqathi’
c.
Haduts
Mu’allaq
d.
Hadits
Mu’adhdhal
e.
Hadits
Mudallas
2.
Karena
tiadanya sifat adil
a.
Hadits
Maudhu’
b.
Hadits
Matruk
c.
Hadits
Mudallas
3.
Karena
tiadanya dhabit
a.
Hadits
Mudraj
b.
Hadits
Maqlub
c.
Hadits
Mudhtharib
d.
Hadits
Mushahhaf dan Hadits Muharraf
4.
Karena
kejanggalan dan kecacatan
a.
Hadits
Syadz
b.
Hadits
Mu’allal
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Syuhudi. 2007, Metode Penelitian Hadis Nabi. PT
Bulan Bintang: Jakarta.
Sf, M. Syakur. 2009, ‘Ulum al-Hadits Kajian Mushthalah dan
Sejarah. MASEIFA Jendela Ilmu: Kudus.
Suparta, Munzier. 200, Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Thahhan, Mahmud, pent. Zainul Muttaqin. 1997, Ulumul Hadits
Titian Ilahi Press : Yogyakarta.
[1]
Munzier Suparta. 200, Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada: Jakarta, h.
124.
[2]
M. Syakur Sf. 2009, ‘Ulum al-Hadits Kajian Mushthalah dan Sejarah.
MASEIFA Jendela Ilmu: Kudus, h.190.
[3]
Syuhudi Ismail. 2007, Metode Penelitian Hadis Nabi. PT Bulan Bintang:
Jakarta, h.35.
[4]
M. Syakur Sf, Op.Cit., h.191.
[5]
Ibid., h. 194.
[6]
Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 63.
[7]
M. Syakur Sf. Op. Cit., h.195.
[8]
Syuhudi Ismail. Op.Cit., h. 65-66.
[9]
Ibid., h. 66.
[10]
M. Syakur Sf. Op. Cit., h. 196
[11]
Syuhudi Ismail. Op. Cit., h. 67-68.
[12]
Munzier Suparta. Op. Cit., h. 134.
[13]
Syuhudi Ismail. Op. Cit., h. 81-82.
[14]
M. Syakur Sf. Op. Cit., h. 198-199.
[15]
Ibid., h. 200.
[16]Ibid.,
h.210.
[17]Ibid.,
h. 204.
[18]
Munzier Suparta. Op. Cit., h. 125.
[19]
Syuhudi ismail. Op.Cit., h.36.
[20]M.
Syakur Sf. Op. Cit., h. 214
[21]Mahmud
Thahhan, pent. Zainul Muttaqin. 1997, Ulumul Hadits Titian Ilahi Press :
Yogyakarta, h. 83.
[22]Munzier
Suparta. Op. Cit., h. 152.
[23]
M. Syakur Sf. Op. Cit., h.215-216.
[24]
Mahmud Thahhan. Op. Cit., h. 85.
[25]
M. Syakur Sf. Op. Cit., h. 215-218
[26]
Ibid., h. 219.
[27]
Mahmud Thahhan. Op.Cit., h. 90.
[28]Munzier
Suparta. Op. Cit., h. 176-177.
[29]Mahmud
Thahhan. Op. Cit., h. 98.
[30]Munzier
Suparta. Op. Cit., h. 160.
[31]
Mahmud Thahhan. Op. Cit., h. 102.
[32]Ibid.,
h. 103-104.
[33]
Munzier Suparta. Op. Cit., h. 161.
[34]
Mahmud Thahhan. Op. Cit., h. 111-112.
[35]Munzier
Suparta. Op. Cit., h. 162.
[36]Mahmud
Op. Cit., h.115.
[37]Munzier
Suparta. Op. Cit., h.163-167 .
[38]Mahmud
Thahhan. Op. Cit., h.127 .
[39]
Ibid., h. 109.
Terima Kasih, sangat mencerahkan...
ReplyDelete