Monday, September 21, 2015

MACAM-MACAM HADITS DITINJAU DARI KUALITASNYA



MACAM-MACAM HADITS DITINJAU DARI KUALITASNYA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Moh. Dzofir, M.Ag.
 



                                                                                              



Disusun Oleh :
Irham Choironi           : 1310110208
Khafidlotur Rofiah     : 1310110225
Naila Shifwah             : 1310110213


                                                      
        SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
                                                   2014                      


I.          PENDAHULUAN
Membicarakan tentang pembagian hadits dari segi kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadits menurut kuantitasnya. Hadits kuantitas dibedakan menjadi, hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir, memberikan pengertian bahwa hadits iru diterima secara  yaqin bil qath’i, yakni ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian, baik terhadap sanad maupun matan. Sedangkan hadits ahad hanya sekedar memberikan faidah dzanny (prasangka) dan karenanya harus diadakan penyelidikan lebih lanjut, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas diterima sebagai hujjah atau sebaliknya.
Atas dasar di atas kami menulis makalah dengan pembahasan mengenai pembagian hadits berdasarkan kualitasnya beserta contohnya. Sehingga pembaca akan memahami tentang antara hadits yang dapat dijadikan hujjah dan yang tidak dapat dijadikan hujjah.

II.          RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian hadits maqbul?
2.      Apa yang dimaksud hadits shahih dan hadits hasan beserta contohnya?
3.      Apa pengertian hadits mardud?
4.      Apa yang dimaksud hadits dhaif beserta contohnya?






III.          PEMBAHASAN
Dalam Ulumul Hadits ini dipelajari pembagian hadits baik ditinjau dari kuantitas hadits maupun kualitas hadits. Adapun hadits ditinjau dari segi kualitasnya dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.
Sedangkan untuk hadits maqbul terdiri atas hadits shahih serta hadits hasan. Dan yang tergolong dalam hadits mardud yaitu hadits dha’if.

A.  HADITS MAQBUL
Hadits maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) mushaddiq (ynag dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang telah sempurna padanya syarat-syarat penerimaan.[1]
I.     Hadits Shahih
Kata shahih berasal dari kata shahha dan shihhah yang berarti sehat, tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim).[2] Dalam hubungannya dengan kualitas hadits, ulama hadits menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dari awal sampai akhir, para periwayatnya bersifat adil dan dhabit, serta terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat). Sifat adil berkaitan dengan kualitas pribadi, sedangkan sifat dhabit berkaitan dengan kapasitas intelektual.[3] Sedangkan menurut Ibn As-Shalah hadits shahih adalah hadits musnad, yakni hadits yang sanadnya bersambung dengan proses periwayatan oleh orang yang adil, dan melalui orang yang adil dan dhabit hingga akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula cacat.[4]
Berdasarkan definisi di atas dapat ditarik sebuah simpulan bahwa hadits dapat dinilai shahih jika memenuhi lima kriteria sebagai berikut:
a)      Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah pertalian atau rangkaian sanad dari nabi hingga sanad terakhir atau perawi tersebut bersambung (muttashil), tidak terjadi keguguran atau tida terputus (ghair munqathi’) dalam jaringan sanad atau sistem riwayat. Menurut Imam Bukhari sanad hadits dikatakan muttashil apabila di antara perawi yang terdekat adalah para rijal yang pernah bertemu langsung (liqa’ dan wushul) dalam penerimaan hadits. Sedangkan menurut Imam Muslim sanad hadits dikatakan muttashil apabila di antara rijal perna hidup dalam satu masa (mu’asharah).[5]
b)      Diriwayatkan oleh perawi yang bersifat adil (‘adalah al-ruwah)
Kata adil berasal dari bahasa Arab yakni ‘adl, yang berarti pertengahan; lurus; atau condong kepada kebenaran.[6] Dalam kriteria hadits shahih yang dimaksud sifat adil adalah adil dalam hal riwayat, yang berarti bahwa orang yang meriwayatkan hadits merupakan muslim, baligh, tidak melakukan dosa besar atau dosa kecil, serta menjaga kepribadian (muru’ah) dalam semua keadaan dari kebiasaan yang dianggap bernuansa kurang laik, baik secara etis maupun estetis, baik secara moral maupun sosial, seperti kebiasaan makan di pinggir jalan, kebiasaan tidak menutup kepala, dan sebagainya. Jika dalam isnad muttashil terdapat orang non muslim, maka haditsnya tidak diterima (mardud). Akan tetapi periwayat ketika menerima hadits boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama Islam, asalkan ketika menyampaikan riwayat, dia telah memeluk agama Islam. Sebagaimana pendapat al-Nawawi dalam Syarh Muslim, bahwa riwayat dari orang kafir harus ditolak, kecuali ia telah masuk Islam.[7]
Menurut Ibn-Hajar al-‘Asqalani (wafat 852H/ 1449M) yang pendapatnya oleh dijelaskan oleh ‘Ali al-Qari (wafat1014H), yakni perilaku atau keadaan yang merusak sifat adil yang termasuk berat adalah suka berdusta (al-kadzib); tertuduh telah berdusta (at-tummah bil-kadzib); berbuat atau berkata fasiq tetapi belum menjadi kafir (fisq); tdak dikenal jelas pribadi dan keadaan seseorang sebagai periwayat hadits (al-jalalah); dan bebbuat bid’ah yang mengarah pada fasq tetapi belum menjadikannya kafir (al-bid’ah).[8]
c)      Para perawinya sangat kuat daya ingatnya (dlabith al-ruwah)
Arti harfiah dhabit ada beberapa macam, yakni dapat berarti kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang hafal dengan sempurna.[9] Dan maksud dengan dhabit bagi perawi dalam kaitan ini adalah kepemilikan seseorang akan daya ingat yang kuat, tingkat auditasnya tinggi, sekira apa yang didengar dari orang lain adalah benar-benar terekam dalam memorinya dan siap diproduksi sewaktu-waktu.
Dhabit dibedakan menjadi dua yaitu:
Ø  Dhabit fi al-shadr yaitu terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak dia menerima hadits sampai meriwayatkannya kepada orang lain.
Ø  Dhabit fi al-kitab yaitu trepeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Terkumpulnya sifat adil dan dhabit merupakan sifat tsiqah, yakni sifat dapat dipercaya, diakui, kredibel, mendapatkan pengakuan dari khalayak.[10]
Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani yang pendapatnya dijelaskan oleh ‘ali al-Qari juga, perilaku atau keadaan yang dapat merusak ke-dhabit-an periwayat adalah dalam merwayatkan hadits banyak salahnya daripada benarnya; lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya; riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-wahm); riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat-periwayat tsiqah; dan jeleknya hafalannya walaupun ada sebagian riwayatnya itu benar.[11]
d)     Tidak memiliki cacat dan cela (‘adam al-‘illah), baik sanad maupun matannya
‘Illat menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Sedangkan menurut istilah ‘illat berarti suatu sebab tersembunyi atau samar-samar, yang karenanya dapat merusak keshahihan hadits.[12] Yang dimaksud dengan sifat tidak ada cacat dalam suatu hadits adalah bahwa tidak diketahui cacat isinya maupun lafadznya. Sifat ini terkadang dikatakan dengan sebutan ghair mu’allal. Dan kebalikan dari sifat cacat (‘illat) adalah sifat sehat (shihhah).
e)      Tidak ada keganjilan (‘adam al-syudzudz), terutama dari segi matan
Yang dimaksud dengan ungkapan tidak syadz atau tidak syudzudz adalah baik perawi hadits maupun hadits yang diriwayatkan tidak dinilai janggal atau aneh oleh perawi lainnya. Kriteria inilah yang disebut dengan ghair al-syudzudz. Sedangkan menurut pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i (wafat 204H/ 820M) hadits syudzudz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah.[13]
            Contoh hadits shahih:
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن معطم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم قرأ في المغرب بالطور

            Setelah diteliti secara seksama hadits tersebut diketahui sebagai hadits shahih koleksi Imam Bukhari ra., karena didapati indikator sebagai berikut:
·         Sanadnya bersambung, indikatornya adaalah unsur ‘an’anah, yakni menggunakan perangkat huruf ‘an atau min yang berarti melalui atau dari.
·         Para perawunya adalah dhabit dan adil berdasarkan penilaian para ulama, yaitu:
                              1.            Abdullah adalah tsiqah.
                              2.            Malik adalah seorang penghafal hadits (hafidh).
                              3.            Ibn Syihab az-Zuhri adalah seorang ahli fiqh kenamaan, al-hafidh.
                              4.            Muhammad ibn Jubair adalah tsiqah.
                              5.            Jubair ibn Muth’im adalah seorang shahabat.
·         Tidak syadz karena tidak ada riwayat lain yang lebih kuat.
·         Tidak ada cacat.
Macam-macam hadits shahih:
      1.            Shahih lidzatihi (shahih karena dirinya sendiri);
      2.            Shahih lighairihi (shahih karena dukungan dari lainnya).
Menurut ibn al-Shalah tingkatan hadits shahih secara berurutan, yaitu sebagai berikut:
      1.            Hasil kesepakatan Imam Bukhari dan Imam Muslim;
      2.            Hasil koleksi Imam Bukhari;
      3.            Hasil koleksi Imam Muslim;
      4.            Seluruh hadits yang telah memenuhi kriteria yang ditawarkan oleh keduanya tetapi belum ditakhrij;
      5.            Seluruh hadits yang telah memenuhi kriteria Imam Bukhari tetapi belum ditakhrij;
      6.            Seluruh hadits yang telah memenuhi kriteria Imam Muslim tetapi belum ditakhrij;
      7.            Seluruh hadits yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti ibn Khuzaimah dan ibn Hibban.[14]
Mengenai tingkat keshahihan para perawi dalam aspek sanad para ulama masih brsilang pendapat. Di antaranya ada yang berpendapat bahwa tingkat keshahihan isnad para perawi adalah sebagai berikut:
      1.            Hadits yang diriwayatkan oleh ibn Syihab az-Zuhri dari Salim ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar dari ibn ‘Umar.
      2.            Hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman al-‘Amasy dari Ibrahim al-Nakha’i dari’Alqamah ibn Qais, dari ‘Abdullah ibn Mas’ud.
      3.            Menurut Imam Bukhari, hadits yang diriwayatkan  oleh Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’ Maula ibn ‘Umar dari ibn ‘Umar.[15]
II.    Hadits Hasan
Secara harfiah kata hasan atau hasanah brarti bagus, baik (khair) atu terpuji (mahmud) yang berlawanan dengan kata sayyi’ah atau madzmumah. Selanjutnya, yang dimaksud dengan hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung, dari awal sampai akhir, para periwayatnya bersifat adil namun ke-dhabit-annya agak kurang sedikit, serta terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat). Perbedaan pokok antara hadits shahih dan hasan dalam hal ini dalah pada ke-dhabit-an periwayat. Pada hadits shahih, kualifikasi ke-dhabit-an periwayat bertingkat sempurna, sedangkan hadits hasan ke-dhabit-an periwayat itu kurang sedikit, namn kekurangannya tidak sampai menjadikan hadits yang diriwayatkan berkualitas lemah.
Ulama hadits hasan menjadi dua macam, yakni hasan lidzatihi (hasan dengan dirinya sendiri) dan hasan lighairihi (hasan karena dukungan dari lainnya).
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dan dapat dipraktikkan pesannya sebagaimana hadits shahih. Hanya kadarnya tidak sekuat kualitas hadits shahih. Menurut jumhur ulama, status kehujjahan hadits hasan seperti hadits shahih, namun ia berada di tengah-tengah antara hadits shahih dan hadits dhaif. Menurut ibn Taymiyah, hadits hasan di bawah hadits shahih. Jika keduanya terjadi perbedaan atau bahkan betentangan, maka harus didahulukan hadits shahih.[16]
Contoh:
حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لو لا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
            Hadits tersebut mempunyai sanad yang bersambung tetapi di dalamnya terdapat nama Muhammad ibn ‘Amr, yang di satu pihak terkenal dengan kejujurannya, tetapi tidak memperoleh kepercayaan di pihak lain, hingga sebagian masyarakat memandangnya lemah dalam segi tingkat hafalan yang dimilikinya.[17]

B.  HADITS MARDUD
Mardud menurut bahasa adalah “yang ditolak” atau “yang tidak diterima”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits maqbul”.[18]
Ø Hadits Dhaif
Kata dha’if berarti lemah, lawan kata dari kuat (quwwah). Adapun yang dimaksud dengan hadits dhaif atau lemah adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat hadits shahih dan hasan.[19] Al-Baiquni merumuskan pengertian hadits dhaif yang diterangkan melalui syairnya berikut ini:
(Dan setiap hadits yang tidak mencapai derajat hadits sebagai hadits hasan mkaa adalah hadits dhaifvyang akan terbagi menjadi beberapa macam)
            Berbagai macam bentuk hadits dhaif muncul karena adanya faktor yang berbeda-beda. Dengan demikian jumlah hadits dhaif menjadi banyak. Alasan atau faktor terjadinya hadits dhaif adalah sebagai berikut:
1.      Karena keterputusan sanad (Inqitha’ al-isnad)
Hadits yang sanadnya tidak bersambung (munqathi’), baik di tengah sanad maupu dengan Nabi Muhammad SAW, dinilai sebagai hadits lemah atau hadits dhaif. Di antara hadits-hadits dhaif yang diketahui karena terputus sanadnya adalah sebagai berikut:
a)      Hadits Mursal
Secara harfiah kata mursal berarti terlepas, dilepaskan, terbebas atau dikirim. Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan oleh Tabi’in kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan nama shahabat yang membawa hadits. Misalnya seorang Tabi’in berkata: “Nabi SAW bersabda demikian...” tanpa menerangkan sumbernya dari shahabat, misalnya dari Abu Hurairah dan sebagainya. Contohnya:
                        و عن عبد الله بن أبي بكر رحمه الله أن في الكتاب الذي كتبه رسول الله صلى الله عليه و سلم لعمرو بن حزم: أن لا يمس القرآن الا طا هر (رواه مالك مرسلا) ووصله ألنسائي و                     ابن حبان وهو معلول
(... Bahwa di dalam al-Kitab (al-Qur’an) yang ditulis oleh Rasululullah SAW untuk ‘Amr ibn Hazm terdapat tulisan “Hendaknya tidak menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci”.)
            Hadits tersebut diriwayatkan oleh Malik secara mursal. Ditinjau dari segi sanad, hadits tersebut adalah mursal, karena diketahui bahwa ‘Abdullah ibn Abi Bakar adalah seorang Tabi’in tetapi meriwayatkan hadits langsung dari Rasullah SAW. hal ini menunjukkan ada perawi dari shahabat ang gugur atau terlepas dalam sistem isnad, karena ‘Abdullah tidak menyebutkan nama shahabat yang menyampaikan hadits kepadanya dalam sanad, tetapi langsung dikatakan dari Rasullah, maka itulah yang dinamakan mursal.[20]
b)      Hadits Munqathi’
Munqathi’ adalah isim fa’il dari al-inqitha’ berarti lawannya bersambung (putus).[21] Secara istilah hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.[22] Contoh:
                        حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا اسماعيل بن ابراهيم و أبو معاوية عن ليث عن عبد الله بن الحسن عن أمه عن فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم قالت كان رسول الله                           صلى الله عليه و سلم اذا دخل المسجد يقول بسم الله و السلام على رسول الله اللهم اغفر                         لي و افتح لي أبواب رحمتك و اذا خرج قال بسم الله و السلام على رسول الله اللهم اغفر                          لي ذنوبي و افتح لي أبواب فضلك
(... dari Fatimah binti Rasullah SAW, katanya: “Rasulullah SAW ketika masuk        masjid selalu membaca (do’a) “Dengan nama Allah, semoga salam teruntuk Rasullah, ya Allah, berikanlah ampunan untukku dan bukalah untukku pintu rahmat-Mu”. Dan ketika keluar masjid beliau berdo’a “Dengan nama Allah. Semoga salam teruntuk Rasulullah, ya Allah, berikanlah ampunan untukku dan bukalah untukku pintu fadhal-Mu) HR. Ibn Majah
Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang gugur atau hilang, hingga terjadi terputusnya riwayat. Dinyatakan dalam sanad bahwa ibi ‘Abdulllah ibn al-Hasan (Fatmah bibti Husain) menerima hadits dari Fatimah binti Rasulullah SAW. Hal itu jelas tidak mungkin terjadi karena ibu ‘Abdullah tidak mungkin berjumpa dengan Fatimah binti Rasullahn karena masa hidupnya berbeda jauh. Hingga diketahui bahwa dalam sanad tersebut terdapat perawi yang gugur di antara dua Fatimah tersebut sehingga jelas terputus sanadnya.[23] Hukum hadits munqathi’ adalah dhaif, karena tidak diketahui keadaan rawi (periwayat) yang dibuang.[24]
c)      Hadits Mu’allaq
Mu’allaq berarti digantungkan. Hadits mu’allaq adalah hadits yang seseorang atau lebih secara berurutan dalam sanad dinyatakan hilang. Status hadits ini adalah dhaif kecuali ditemukan dalam buku yang sudah jelas status keshahihannya. Contoh:
                        قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
(Rasulullah Saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah)
Hadits tersebut ditulis tanpa disebutkan sanad maupun perawinya, tetapi cukup dinyatakan dengan “Rasulullah SAW bersabda”.
d)     Hadits Mu’adhdhal
Hadits mu’adhdhal adalah hadits yang dua orang atau lebih dalam sanadnya tidak ada (majhul), karena hilang atau tidak disebutkan. Contoh:
                        أخبرنا أبو بكر بن الحسن القاضي حدثنا أبو العباس الأصم أنبأ الربيع أنبأ الشافعي أنبأ سعيد بن سالم عن بن جريج أن النبي صلى الله عليه و سلم كان اذا رأى البيت رفع يديه                           ... (رواه البيهقي)
            (Kami memperoleh khabar dari Abu Bakar Ibn al-Hasan al-Qadhi dari Abu al-‘Abbas al-Ashamm dari ar-Rabi’ dari as-Syafi’i dari Sa’id ibn Salim dari ibn Juraji, “Bahwa Nabi Saw ketika melihat Baitullah selalu mengangkat kedua tangannya...”) HR. Al-Baihaqi
                        Sanad hadits tersebut adalah al-Baihaqi dari Abu Bakar ibn al-Hasan Al-Qadhi dari Abu al-‘Abbas al-Ashamm dari ar-Rabi’ dari as-Syafi’i dari Sa’id ibn Juraji, (dari Rasullulah SAW). Dengan jelas dapat diketahui bahwa ibn Juraji adalah perawi yang tidak sezaman dengan Rasulullah SAW, karena ia adalah dari generasi pengikit tabi’in (Tabi at-Tabi’in). Dengan demikian sebenarnya ada dua perawi (dari dua generasi) yang hilang di antara ibn Juraji dan Rasulullah, yaitu perawi dari tabi’in dan perawi dari shahabat. Dua perawi yang tidak disebutkan tersebut adalah berurutan generasinya. Oleh karena itu hadits tersebut tidak boleh dijadikan hujjah, baik untuk hukum maupun lainnya karena terjadi i’dhal dalam sanadnya.[25]
e)     Hadits Mudallas
            Hadits mudallas adalah hadits yang terdapat perawi yang digugurkan oleh seorang perawi secara sengaja dengan maksud untuk menutupi aibnya. Adapun perawi yang melakukan penutupan aib perawi tersebut (gurunya) dinamakan mudallis, sedangkan perbuatannya dinamakan tadlis.
            Ada dua macam hadits mudallas, yaitu:
                                                       1.            Tadlis al-Isnad
            Yaitu bentuk periwayatan yang dilakukan oleh perawi berasal dari orang sezamannya tetapi tidak pernah bertemu, atau dari orang yang pernah ditemui tetapi tidak oernah menerima hadits darinya, dengan bentuk keraguan seakan-akan ai menerima atau mendengar hadits dari perawi sebelumnya. Contoh:
Dari an-Nu’man ibn Rasyid dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, darin’Aisyah ra. “Bahwa Nabi SAW tidak pernah memukul wanita sama sekali, dan tidak pula kepada pembantu kecuali untuk berjihad di jalan Allah” (HR. Ibn Abi Hatim)
            Dari hasil pengamatan terhadap sanad tersebut diperoleh pengetahuan bahwa az-Zuhri menerima riwayat dari ‘Urwah. Pengetahuan berdasarkan sanad tersebut seakan-akan bisa diterima dan dibenarkan karena hubungan antara keduanya sudah menjadi kebiasaan dalam proses periwayatan hadits, dimana az-Zuhri menerima hadits dari ‘Urwah. Tetapi dalam konteks hadits tersebut tidak demikian halnya. Menurut Hatim (periwayat akhir), informasi yang benar adalah hadits tersebut diriwayatkan oleh ‘Uqail dari az-Zuhri dari ‘Ali ibn Husain, bahw Nabi SAW ...,hadits tersebut juga diriwayatkan oleh ats-Tsauri dan Amr ibn Abi Qais dari Manshur dari az-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah ra., semntara riwayat az-Zuhri menunjukkan bahwa Hisyam ibn ‘Urwah menyampaikan riwayat dari ayahnya dari ‘Aisyah ra. Informasi tersebut terkandung maksud bahwa az-zuhri tidak mendengar riwayat (hadits di atas) dari ‘Urwah, tetapi sebenarnya di antara keduanya tentang hadits di atas terdapat perawi yang tidak disebutkan, yaitu Hisyam.[26]
                                                       2.            Tadlis Syuyukh
            Yaitu bila seorang rawi meriwayatkan suatu hadits yang didengarnya dari seorang syekh lalu dia memberi nama atau memberi nama panggilan atau menasabkan atau mensifati dengan sifat yang tidak dikenal, dengan maksud supaya syekh tersebut tidak dikenal. Contoh: Perkataan Abu Bakar bin Mujtahid salah satu imam Qurra’ sebagai berikut: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdullah”, yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abi Dawud al-Sijistany.
v  Tujuan-tujuan yang mendorong berbuat tadlis
Ø  Tujuan yang mendorong tadlis syuyukh
§  Lemahnya syekh atau tidak tsiqahnya syekh tersebut.
§  Meninggalnya paling terakhir dibandingkan dengan syekh-syekh yang lain yang sekelompok dengannya.
§  Umurnya lebih muda dibandingkan dengan rawi yang meriwayatkan hadits padanya.
§  Banyaknya riwayat dari padanya maka ia tidak suka memberbanyak menyebut namanya dalam satu bentuk.
Ø  Motif yang mendorong tadlis isnad
§  Agar disangka sebagai sanad yang tinggi.
§  Terlewatinya suatu bagian hadits dari syekh yang didengarnya.
§  Tiga motif pertama yang tersebut dalam tadlis syuyukh.[27]
2.      Karena tiadanya sifat adil
a)      Hadits Maudhu’
      Secara bahasa al-maudhu’ adalah isim maf’ul dari wadha’a-yadha’u-wadh’an yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan  at-tarku (ditinggal). Sedangkan secara istilah hadits maudhu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat, atau menetapkannya.[28]  Contoh: Maisarah bin Abi Rabbihi, ibn Hibban meriwayatkan mengenai hadits-hadits maudhu’ dari ibn Mahdy, ia berkata: “Aku bertanya kepada Maisarah bin Abi Rabbini: ‘Darimana kamu mendatangkan adits-hadits dhaif ini “Barangsiapa yang membaca seperti ini maka ia akanmendapat seperti ini?’ ia menjawab: “Sengaja aku buat untuk merangsang manusia”.[29]
b)      Hadits Matruk
      Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau nampak kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada perkataannya, atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.[30]
      Contoh: Hadits Amir bin Syamir al-Ju’fy al-Kufy al-Syi’i dari Jabir dari Abu Thufail dari Ali dari Amar kedua berkata: Adalah Nabi SAW berqunut dalam shalat fajar dan bertakbir pada hari Arafah dari shalat pagi hari dan memtuskan pada shalat Ashar di akhir hari-hari Tasyriq.[31]
c)      Hadits Munkar
      Ulama hadits mendefisinikan dengan macam-macam, yang paling terkenal adalah dua definisi, yaitu:
§  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar hadits munkar adalah hadits yang dalam riwayatnya terdapat rawi yang sangat jelek hafalannya atau banyak kesalahan atau nampak sifat fasiqnya.
§  Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dhaif menyelisihi rawi yang terpercaya.
     Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hathim melalui jalan Hubaib bin Hubaib az-Ziyat dari Abi Ishak dari al-Aizar bin Huraits dari ibn Abbas dari Nabi SAW beliau bersahabat “Barangsiapa yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dan menunaikan haji dan berpuasa dan menjamu orang lemah maka ia akan masuk surga”. [32]
3.      Karena tiadanya dhabit
a)      Hadits Mudraj
      Adalah hadits yang menampilkan redaksi tambahan, padahal bukan bagian dari hadits.
      Macam-macam hadits idraj
§  Idraj fil matan yaitu tambahan dalam sanad, bisa di awal, tengah, atau akhir.
§  Idraj fis sanad, bisa terjadi seorang rawi memasukkan suatu sanad padahal bukan termasuk sanad dari hadits tersebut, atau seorang rawi memasukkan matan hadits pada sanad yang bukan sanadnya.[33]
            Contoh: Kisah Tsabit bin Musa, seorang zuhud dalam suatu riwayat ia mengatakan “Barangsiapayang banyak shalat pada malam hari maka menjadi baguslah wajahnya pada waktu siang harinya.” Dan asal kisahnya adalah bahwa Tsabit bin Musa memasuki pada Syarik bin Abdullah al-Qadhi, sedang beliau tengah mendiktekan suatu hadits seraya berkata, “Telah bercerita kepada kami al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW. Lalu ia berdiam diri agar orang didiktekan mencatatnya, maka ia melihat Tsabit, ia berkata. “Barangsiapa banyak shalat pada malam hari maka wajahnya menjadi bagus pada waktu siang harinya.” Dan ia memaksudkan yang demikian it pada Tsabit karena zuhudnya dan wara’nya, lalu Tsabit mengira bahwa hal itu merupakan matan sanad hadits tersebut.[34]
b)      Hadits Maqlub
      Adalah hadits yang lafadz matannya tertukar pada oleh salah seorang perawi, atau seseorang pada sanadnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya, yang seharusnya disebut belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.[35]
      Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Hammad bin ab-Nashiby dari al-A’masy dari abi Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’: “Apabila kamu sekalian bertemu dengan orang-orang musyrik maka janganlah kamu memulai salam labih dulu,” Hadits ini adalah maqlub, ditukar oleh Hammad, lalu dijadikan dari al-A’masy, akan tetapi  yang terkenal adalah dari Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari abu Hurairah.[36]
c)      Hadits Mudhtharib
      Adalah hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang bebeda-beda padahal dari satu perawi (ynga meriwayatkan) dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan. Kerancuan (idhthirab) ini bisa terjadi di sanad dan matan atau sanad dan matan secara bersama-sama.
      Contoh:
ان النبي ص.م وأبا بكر و عمرو فكنوا يفتتيمون القراءة بالحمد لله رب العالمين
      Menurut Ibn abd Al-Barr bahwa hadits tersebut banyak dengan lafadz yang berbeda-beda dan saling dapat bertahan, yakni dapat ditarjihkan maupun dikompromikan. Antara lain dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad An-Nasa’i. Ibn Khuzaimah yang juga bersumber dari Anas ra. dengan susunan redaksi: “Mereka semua tidak mengeraskan bacaaan bismillahirabbil’alamin”. Di samping itu juga ada beberapa rawi yang meriwayatkan, bahwa para sahabt membaca basmalah dengan keras:
فكانوا يجهرون بسم الله رب العالمين
Tiga hadits in sama-sama disandarkan pada Anas ra. maka tidak mungkin ditarjih karena dari sisi sanad juga sama-sama tsiqah.
d)     Hadits Mushahhaf  dan Hadits Muharraf
-Hadits mushahhaf yaitu:
ما وقع فيه التغييرفي اللفظ اوالعمنى
Terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya”.
      Tashif ini terjadi di matan juga di sanad. Contoh tashif fil-matan adalah hadits abu Ayyub Al-Anshary : Bahwasanya Nabi SAW bersabda:
من صام رمضان واتبعه ستا من الشوال كان كصيام الدهر
Perkataan sittan yang berarti enam oleh Abu Bakr Al-Shauly dirubah menjadi syaian yang berarti sedikit. Adapun tashif fis-sanad misalnya nama sanad Ibnu Al-Badzar diubah Ibnu Al-Nadzar.
-Hadits muharraf
ما مواقعت المخالفة فيه بتغيير الشكل في الكلمة مع بقاء صورة الخط
hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya
      Tahrif adakalanya terjadi pada matan dan juga pada sanad. Contoh tahrif pada matan adalah hadits Jabir:
رمي أبي يوم الأحزاب عاى اكحله...
Ghandar mentarifkan kata Ubayy pada hadits tersebut dengan Abi (artinya bapakku), padahal sesungguhnya Ubayy (yakni Ubayy ibn Ka’ab). Kalau pentahrifan Ghandar ini diterima, berarti orang yang dihujani panah adalah ayahnya Jabir, padahal ayah Jabir telah meninngal di perang uhud yang terjadi sebelum parang Ahzab.[37]
     
4.      Karena kejanggalan dan kecacatan
a)      Hadits Syadz
      Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan matannya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abdul Wahid ibn Ziyad dari al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ “Apabila salah seoarang di antara kamu sekalian akan shalat subuh maka berbaringlah kesebeh kanan”, Al-Baihaqy menyatakan bahwa abdul wahid menyalahi banyak rawi dalam masalah ini, karena para manusia meriwayatkannya dari perbuatan  Nabi SAW bukan dari perkataannya, dan sendirinya Abdul Wahid dari kalangan rawi-rawi tsiqat teman-teman al-A’masy dengan lafadz ini.[38]
b)      Hadits Mu’allal
      Adalah hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya nampak selamat dari cacat. Contoh: Hadits Ya’la bin Ubaid, dari Ats-Tsaury dari Amru bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ “dua orang yang berjual beli itu boleh berhiyar” Abu Ya’la mengira atas Sufyan Ats-Tsaury dalam perkataaannya “Umar bin Dinar” bahwasanya dia adalah Abdullah bin Dinar.[39]


 IV.            KESIMPULAN
Hadits maqbul terdiri dari hadits shahih dan hadits hasan. Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dari awal sampai akhir, para periwayatnya bersifat adil dan dhabit, serta terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat). Sifat adil berkaitan dengan kualitas pribadi, sedangkan sifat dhabit berkaitan dengan kapasitas intelektual. Yang dimaksud dengan hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung, dari awal sampai akhir, para periwayatnya bersifat adil namun ke-dhabit-annya agak kurang sedikit, serta terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat).
Yang tergolong dalam hadits mardud yaitu, hadits dhaif. Adapun yang dimaksud dengan hadits dhaif atau lemah adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat hadits shahih dan hasan.
            Alasan atau faktor terjadinya hadits dhaif adalah sebagai berikut:
1.      Karena keterputusan sanad (Inqitha’ al-isnad)
a.         Hadits Mursal
b.         Hadits Munqathi’
c.         Haduts Mu’allaq
d.        Hadits Mu’adhdhal
e.         Hadits Mudallas

2.      Karena tiadanya sifat adil
a.       Hadits Maudhu’
b.      Hadits Matruk
c.       Hadits Mudallas

3.      Karena tiadanya dhabit
a.         Hadits Mudraj
b.         Hadits Maqlub
c.         Hadits Mudhtharib
d.        Hadits Mushahhaf dan Hadits Muharraf
4.      Karena kejanggalan dan kecacatan
a.       Hadits Syadz
b.      Hadits Mu’allal



















DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Syuhudi. 2007, Metode Penelitian Hadis Nabi. PT Bulan Bintang: Jakarta.
Sf, M. Syakur. 2009, ‘Ulum al-Hadits Kajian Mushthalah dan Sejarah. MASEIFA Jendela Ilmu: Kudus.
Suparta, Munzier. 200, Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Thahhan, Mahmud, pent. Zainul Muttaqin. 1997, Ulumul Hadits Titian Ilahi Press : Yogyakarta.



[1] Munzier Suparta. 200, Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada: Jakarta, h. 124.
[2] M. Syakur Sf. 2009, ‘Ulum al-Hadits Kajian Mushthalah dan Sejarah. MASEIFA Jendela Ilmu: Kudus, h.190.
[3] Syuhudi Ismail. 2007, Metode Penelitian Hadis Nabi. PT Bulan Bintang: Jakarta, h.35.
[4] M. Syakur Sf, Op.Cit., h.191.
[5] Ibid., h. 194.
[6] Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 63.
[7] M. Syakur Sf. Op. Cit., h.195.
[8] Syuhudi Ismail. Op.Cit., h. 65-66.
[9] Ibid., h. 66.
[10] M. Syakur Sf. Op. Cit., h. 196
[11] Syuhudi Ismail. Op. Cit., h. 67-68.
[12] Munzier Suparta. Op. Cit., h. 134.
[13] Syuhudi Ismail. Op. Cit., h. 81-82.
[14] M. Syakur Sf. Op. Cit., h. 198-199.
[15] Ibid., h. 200.
[16]Ibid., h.210.
[17]Ibid., h. 204.
[18] Munzier Suparta. Op. Cit., h. 125.
[19] Syuhudi ismail. Op.Cit., h.36.
[20]M. Syakur Sf. Op. Cit., h. 214
[21]Mahmud Thahhan, pent. Zainul Muttaqin. 1997, Ulumul Hadits Titian Ilahi Press : Yogyakarta, h. 83.
[22]Munzier Suparta. Op. Cit., h. 152.
[23] M. Syakur Sf. Op. Cit., h.215-216.
[24] Mahmud Thahhan. Op. Cit., h. 85.
[25] M. Syakur Sf. Op. Cit., h. 215-218
[26] Ibid., h. 219.
[27] Mahmud Thahhan. Op.Cit., h. 90.
[28]Munzier Suparta. Op. Cit., h. 176-177.
[29]Mahmud Thahhan. Op. Cit., h.  98.
[30]Munzier Suparta. Op. Cit., h. 160.
[31] Mahmud Thahhan. Op. Cit., h. 102.
[32]Ibid., h. 103-104.
[33] Munzier Suparta. Op. Cit., h. 161.
[34] Mahmud Thahhan. Op. Cit., h. 111-112.
[35]Munzier Suparta. Op. Cit., h. 162.
[36]Mahmud Op. Cit., h.115.
[37]Munzier Suparta. Op. Cit., h.163-167 .
[38]Mahmud Thahhan. Op. Cit., h.127 .
[39] Ibid., h. 109.

1 comment: