STUDI ISLAM NORMATIVITAS ATAU HISTORISITAS?
STUDI AGAMA DI INDONESIA: SEBUAH KONSEPSI
Studi Agama di Indonesia: Pendekatan Agama
Masyarakat Indonesia yang
pluralistik dalam bidang keagamaannya sangat menunggu-nunggu hasil kajian
keilmuan dan penelitian dalam bidang agama serta pemikiran keagamaan yang
bersifat positif-konstruktif untuk menopang keterlibatan bersama seluruh
pengikut agama-agama di tanah air dalam membina dan memupuk Kerukunan Hidup
antar Umat Beragama.
Posisi mayoritas umat Islam di
negara kesatuan Republik Indonesia, dalam hubungannya dengan persoalan
pluralitas agama, memang sangat unik. Umat Islam di negara Timur Tengah juga
merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai pengalaman pluralitas agama
seperti yang dirasakan dan dialami oleh Umat Islam di Indonesia. Salah satu
keunikan yang membedakan kesadaran adanya pluralitas agama yang dihayati oleh
umat Islam Indonesia dan mayoritas umat Islam di negara Timur Tengah adalah
keberadaan agama Hindu dan Budha. Kedua agama terakhir ini relatif tidak
berkembang di kawasan Timur Tengah. Baik ditinjau dari sudut telaah sosiologis,
psikologis maupun kultural, hal demikian sudah cukup membedakan “muatan”
pengalaman dan penghayatan kehidupan pluralitars agama.
Perkembangan IPTEK termasuk di
dalamnya perkembangan ilmu
sosial kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperdakat jarak
perbedaan budaya. Hal demikian, pada gilirannya, juga mempunyai pengaruh yang
cukup besar terhadap ksadaran manusia tentang apa yang disebut fenomena
“agama”. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan difahami hanya
lewat pendekatan teolagis-normatif semata-mata.
Hampir semua pengamatan
sosial-keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi seringkali membawa ke arah
‘ketersekatan’ umat. Ketersekatan yang tidak dapat dihindarkan, barang kali
ibarat konsep “manusia” yang bersifat universal, kemudian tersekat oleh
berbagai “bahasa” dan “warna kulit”. Suatu
ketersekatan yang tidak dapat terhindarkan secara historis. Meskipun begitu,
orang melihat sosok tubuh baik yang berkulit htam, putih, maupun sawo matang,
ia tidak dapat mengingkari untuk menyebutnya sebagai sosok manusia. Jadi,
peranan “intelek’ untuk memahami konsep yang bersifat universal
dan partikular, antara bersifat
“esoteris” dan “eksoteris”, sebenarnya cukup menentukan di sini.
Tinjauan Antropologis-Fenomenologis Agama sebagai Fenomen
Manusiawai
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena
keberagamaan manusia lewat pintu masuk antropologi, adalah seperti halnya kita
mendekati dan memahami “object” agama dari sudut pengamatan yang berbeda-beda.
Dari situ akan muncul pemahaman
sosiologis, historis, psikologis terhadap fenomena keberagamaan manusia. Namun
diakui bahwa berbagai pendekatan tersebut dapat saja terasa dangkal dan amat
periferial sifatnya lantaran seringkali pendekatan tersebut tidak menyentuh
esensi relegiositas manusia itu sendiri. Para teolog khususnya merasa kurang
sreg ketika menerima uraian atau masukan yang disumbangkan oleh pendekatan
antropologis terhadap agama.
Teologi sebagaimana kita ketahui,
tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok
sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang
bersifat sujektif, yakni bahasa sebagai pelaku merupakan ciri yang melekat pada
bentuk pemikiran teologis.
Para teolog, agamawan dari berbagai
kalangan, terlebih lagi para teolog dan agamawan yang memahami betul
seluk-beluk history of relegions sering merasa tidak puas dengan temuan
yang dikemukakan oleh pendekatan ilmu sosial dianggap kurang apresiatif
terhadap aspek “doktrin”. Atau hasil penelitian agama dengan menggunakan ilmu
sosial aspek “normativitas” dari ajaran agama itu sendiri. Dengan lain ungkapan
bahwa mereka hanya melihat aspek “eksternalitas” dari keberagamaan manusia
tanpa memasuki relung internalitas-kedalaman keberagamaan manusia.
Untuk era pluralitas agama serta
mobilitas pendudukyang sangat cepat, tiga pendekatan yaitu pendekatan teologi,
antropologi dan fenomenologi, aturannya memang menyatu dalam satu
kerangka utuh cara berpikir seorang agamawan sehingga kekurangan yang melekat
pada masing-masing pendekatan dapat ditutup dan terdeteksi sedini mungkin.
Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya: Tentang Klaim
Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama
Munculnya perbedaan antar studi
agama kontemporer dengan teologi dan filsafat adalah karena pengaruh empirisme
dalam filsafat dan teologi, yang berakibat, kedua ilmu tersebut berubah menjadi
ilmu-ilmu humaniora.
Teologi modern tidak hanya merubah
wajah kehidupan fisik-material, tapi juga merubah pola kehidupan manusia, baik
secara pribadi maupun sosial. Untuk
memenuhi kebutuhan psikis material dapat diperoleh dengan cara membeli
atau mentransfer teknologi. Namun tidak untuk kebutuhan mental-spiritual.
Jika truth claim hanya
terbatas aspek ontologis-metafisis tidak perlu dirisaukan. Namun jika memasuki
wilayah sosial politik yang praktis-empiris, maka harapan-harapan besar
terhadap peran agama mengatasi problem dunia kini makin pupus.
Jika teologi tak mencermati mekanisme dan
metodologi ilmu pengetahuan, maka bahasa para teolog hanya terbatas pada
ungkapan reaktif bukan diskurtif, dan semakin jauh dari kenyataan empiris yang
digeluti ilmuwan dan manusia yang hidup pada era modern ini.
Mengawali usaha rekonstruktif
teologi yang lebih peduli persoalan-persoalan empiris untuk menjawab tantangan
zaman, maka perlu diketahui terlebih dulu struktur fundamental teologi, hingga
diperoleh kemungkinan mereformulasikannya.
Pengembangan ilmu agama hanya dapat
dimulai dengan rekonstruksi teologi, baik melalui wacana filsafat maupun studi
agama empiris. Langkah ini harus dilalui, jika mausia beragama menyadari adanya
pengaruh perubahan dunia akibat temuan-temuan ilmu pengetahuan.
Etika dan Dialog antar Agama: Perspektif Islam
Pergumulan antara “das sein”
(historisitas) dan “”das solen” (normativitas), sebenarnya dimulai sejak awal
kehidupan kemanusiaan itu lahir, yamg kemudian tersimbolkan dalam perjuangan
dan sejarah hidup Nabi Muhammad dan para Nabi sebelumnya. Para pemerhati
sejarah agama Islam sngat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai
makhluk historis (yamsuna fi al-aswaq) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan
tata nilai yang bersifat pluralistik.
Ungkapan yang sering dilafalkan para
khatib dan juru dakwah bahwa dalam Al-Qur’an adalah pedoman untuk Hablum min
al-Allah dan Hablum min an-Nas, tidak lain dan tidak bukan adalah
kode etik tata pergaulan antara manusia sebagai makhluk dengan Sang Pencipta
serta etika pergaulan antara sesama manusia, termasuk etika hubungan antar umat
beragama.
Tuntunan spiritualitas keberagamaan
yang sejuk dan berwajah ramah jauh lebih dibutuhkan oleh manusia modern yang
terhampas oleh gelombang besar konsumerirme-materialisme. Sekali lagi dimensi
spiritualitas keberagamaan yang erat kaitannya dengan persoalan etika
rasional-universal juga dapat dijadikan pintu masuk untuk berdialog secara
terbuka dan jauh dari kecurigaan kelembagaan formal keagamaan.
Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama (Tinjauan Pertautan
antara ‘Teori’ dan ‘praxis’
Metode filsafat semakin hangat
dibicarakan oleh para ilmuwan sosial, setelah metode yang dipergunakan dalam
bidng ilmu pasti-alam berkembang pesat dan menyelinap masuk ke dalam wilayah
ilmu sosial. Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen
sejarah bagi para filsuf yang ingin membentk ‘unified science’, yang mempunyai
progam untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam
sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya
filsafat.
Mencari esensi dan subtansi adalah
obsesi para filsuf. Plato adalah sumber inspirasi utamanya. Bahwa di seberang
sana ada ‘idea’ yang terpisah, tetap, objektif dan terle[as sama sekali dari
kehidupan sehari-hari manusia. ‘idea’ itu permanen, tidak berubah-ubah,
transenden, dan itulah ‘hakekat’ yang sesungghnya.
Perlunya perubahan wawasan
metodologi penelitian filsafat yang bercorak posivistik ke humanistik-hermeneunitik,
agaknya semakin menonjol sosoknya. Bahkan dalam bidang yang paling dekat dengan
kulit positivisme sendiri, yakni ilmu pengetahuan ternyata fakor subjektvitas
manusia dan kesejarahannya perlu tetap diakui keabsahannya. Bukan hanya aspek
logikanya yang terpojok, tetepi juga aspek sujektivitas-kesejarahan manusianya
juga perlu digaris bawahi.
Kritik Habermas tidak lain adlah
kritik terhdap scientism dan posivisme sudah menjadi “idiologi”. Menurutnya
scientisme dan positivisme sudah menjadi idiologi yng tertutup, lantaran
idiologi ini berpegang teguh pada hukum yang positif-objektif baik dalam
ekonomi, sejarah, sosial sehingga tidak fleksibel lagi dan tidak kondusif untuk
melakukan ‘paradigma shift’ dalam menatap realitas struktur sosial yang ada.
Para teolog kurang simpati terhadap pendekatan
ilmiah terhadap agama, karena mereka menganggap para ahli ilmu agama mereduksi
agama hanya sebagai gejala sosial semata sehingga aspek ‘spiritual’-nya kurang
mendapat prioritas.
Berbeda dari arus yang berkembang dalam studi
ilmu agama di atas, sebagai bahan pertimbangan, menarik untuk mengkaji telaah
Ian Babour tentang kajian agama. Dalam membandingkan metode yang berlaku dalam
dunia agama dan dunia ilmu pengetahuan, dia menggarisbawahi unsur
‘sujektivitas’ dari pada agama.
“ISLAMIC STUDIES” DI IAIN: UPAYA PENGEMBANGAN
Studi-Studi Islam: Sudut Pandang Filsafat
Dalam kegiatan keilmuan seorang ilmuan
dituntut untuk mempunyai “asumsi dasar” atau “postulasi” yang jelas, yang
dibangun di atas dasar pemikiran yang sistematis-metodologis, tanpa asumsi
dasar atau postulasi yang kokoh, jelas dan sistematis, maka analisis pemecahan
persoalan yang hendak ditawarkantidaklah akan tajam dan sulit mengarah pada
titik fokus tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Para mahasiswa dan juga dosen, seringkali
masih sulit membedakan secara tegas-proporsional dimana wilayah keilmuan dan
dimana wilayah keagamaan. Sifat keilmuan yang lebih menuntut sikap kritis,
analitis, metodologis, rasional, historis dan empiris serta menonjolkan sikap sebagai
“pengamat”, berbeda dengan sikap keagamaan yang lebih menuntut pada pemihakan
subjektif-sepihak (involved) taqlidiyyah, amalan-amalan praktis dan penonjolan
sikap sabagai “aktor”. Keterkaitan dan hubungan antara keduanya perlu ditakar
ulang untuk dapat melihat secara jernih persoalan-persoalan, hambatan-hambatan
yang terkait dengan gerak langkah, pola atau model “Islamic Studies” sebagai
program studi di tanah air pada umumnya dan di IAIN dan PTAIS pada khususnya.
Hanya lewat pintu masuk pmahaman islam yang
didekati lewat pendekatan “Low Tradition’, maka kajian Historis-empiris dalam
wilayah Islamic Studies dapat dimungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Islam tidak lagi dapat dipahami secara monolitik, tapi dipahami secara
pluralistik “open ended”, historis empiris. Berbeda dengan kajian Islanm dalam
dataran yang bersifat idealistik-monolistik, maka kajian Islam dalam dataran
Low Tradition ini sangat kaya nuansa, multi dimensional approaches, multi
diskursus, dan lebih tampak wilayah sosio-kulturalnya, dibandingkan warna legal
formalnya sesuai dengan jalinan dan anyaman pengaruh budaya setempat yang telah
berkembang selama ratusan tahun sebelum hadirnya Islam maupun dengan prases
dialog dengan budaya modern-teknologi kontemporer.
Pluralitas agama-agama dunia adalah merupakan
realitas kehidupan dunia yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Secara
praktis-ralistis sudah tidah pada tempatnya pada era keterbukaan dan
globalisasi sekarang ini untuk hanya melaksanakan keberagamaan sendiri tetapi
tidak tahu sama sekali atau acuh terhadap keberagamaan orang lain. Isu
pluralitas pemgembangan wilayah Islamic
Studies oleh Universitas atau Perguruan Tinggi Islam Swasta di Tanah Air namun
lebih dari itu. Justru untuk menunjukkan ketidak-ekslusifan PTAIS di tengah
masyarakat Indonesia yang pluralistis, maka kajian ini perlu diberi tempat yang
memadai dalam wilayah Islamic Studies.
Interelasi Ilmu Kalam dengan Ilmu Lainnya
Dalam ilmu pengetahuan yang sepositif, selogis
dan sobjektif, ternyata keterlibatan dan campur tangan historisitas kesejarahan
manusia sangat mempengaruhi tatanan dan rancang bangun epistemologi ilmu
pengetahuan. Justru karena historisitas yang selalu berubah-ubah maka
kesalahan, ketidaktepatan, anomali-anomali yang terdapat dalam rumusan ilmu
pengetahuan generasi berikutnya dapat dimungkinkan untuk dikoreksi, dibenahi
kembali oleh generasi ilmuwan yang datang berikutnya untuk mendekati kebenaran
dan gambaran realitas yang sebenarnya.
Dengan meninjau ulang anomli-anomali yang
melekat pada rancang bangun epistemologi ilmu kalam dapatlah disimpulkan secara
tentatif bahwa ilmu kalam perlu dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia.
Istilah falsafah kalam sebenarnya mengandung
cakupan arti yang luas, sekaligus lebih luwes untuk mempertanggungjawabkan
gagasan pemikiran seseorang secara terbuka, tanpa dibarengi emosi truth
claim yang berlebih-lebihan. Paul Ricour, seorang filosuf Perancis
kontemporer, mencatat bahwa perkembangan falsafah tidak dapat dipisahkan sama
sekali dari dialog, sentuhan, gesekan dengan perkembangan tingkat kemajuan ilmu
pengetahuan yang mengitarinya. Perlu dicatat sebagai bahan bandingan bahwa
semua gagasan pemikiran falsafah yang besar dalam sejarah umat manusia
merupakan hasil dialog dengan perkembangan ilmu yang sedang terjadi di
sekitarnya.
Keterkaitan ilmu kalam tidak hanya dengan
filfasat kontemporer, namun lebih dari itu, ia juga perlu bersentuhan dengan
problema ilmu sosial dan kemanuiaan universal yang lain. Untuk mempertajam
wawasan historisitas kemanusiaan, ilmu kalam perlu bersentuhan dengan ilmu
sosial, baik itu linguistik, antropologi, sosiologi, psikologi, dan sejarah
serta berbagai cabangnya.
Rekonstruksi Spiritualitas Islam Menghadapi
kehidupan Modern Abad Ke-21
Dalam era modernitas sekarang ini, dunia
spiritualitas sebenarnya tidak harus mempunyai keterkaitan atau konotasi dengan
kelembagaan tarekat atau tasawuf dalam bentuknya yang lama. Dunia spiritualitas
sekarang ini lebih terkait dengan pengalaman beragama yang sebagiaanya dikaji
dalam psikologi agama dan sebagian yang lain erat terkait dengan wilayah etika.
Dalam format seperti itu, dimensi relegiousitas yang berdasarkan wahyu tetap
mewarnai sentral pembahasannya hanya metodologinya yang berbeda. Namun sangat
disayangkan psilosophic ethic (wilayah etika) yang terkait dengan
pengalaman beragama tidak begitu populer di kalangan pengikut salaf karena
dianggap terlalu asing dari wilayah agama.
Dalam literatur psikologi agama, perkembangan
spiritualitas yang sehat dan ajar melibatkan komponen ‘fleksibelitas’, selain
kerendahan hati dan juga keinginan dari dalam. Barangkali komponen yang pertama
yaitu fleksibelitas yang sangat jarang ditemui dalam pembinaan akhlak maupun
tasawuf model lama. Padahal untuk pertumbuhan spiritualitas yang sehat unsur iu
tidak dapat ditinggalkan.
Ada beberapa point yang perlu dipertimbangkan
dalam usaha merekonstruksi spiritualitas Islam. Pertama: doktrin dan
ritus-ritus keagamaan yang berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus bermuara pada jalinan kehidupan spiritual
yang hidup antara individu pemeluk agama dengan Allah SWT. Kedua: ajaran-ajaran dan ritus-ritus keagamaan harus
fleksibel dan berkembang. Doktrin-doktrin itu harus cukup elastis untuk dapat
mengakomodir keberanekaragaman pengalaman spiritual yang bersifat individual. Ketiga:
semangat dan kekuatan organisasi yang utama hendaknya dipersembahkan untuk
kehidupan spiritual, bukannya semata-mata ditujukan untuk memperkokoh dan
memelihara kelembagaan atau organisasi keagamaan itu sendiri. Keempat: individu-individu
pemeluk agama bisa saja berafiliasi bahkan menjadi pengurus sekalipun dalam
organisasi keagamaan tertentu, tetapi hendaknya tidak ada ‘individu’ atau
otoritas organisasi yang mempunyai kekuasaan spiritualitas yang mengawasi yang
lain. Orang yang beragama dapat bekerja sama dan memperkaya kehidupan
spiritualitasnya secara bersama-sama dan sederajat. Kekuasaan spiritual yang
sebenarnya hanyalah Allah SWT.
ISLAM DAN STUDI KAWASAN
Islam dan Barat: Tinjauan Historis-Kultural
Dalam perang dunia II dunia Islam mulai
melepaskan diri dari cengkeraman Barat. Namun dalam banyak hal mereka masih
tergantung pada Barat. Dalam era ‘ketergantungan’ yang biasa disebut era
‘neoimperealisme’, dunia ketiga dan dunia Islam pada khususnya mulai menggeliat
dengan cara mengoreksi tatanan dunia lama dan ingin merubahnya ke dalam tatanan
dunia baru. Tampak sekali warna rivalitas antara kedua kebudayaan. Dalam era
kolonialisme, ‘ketergantungan’ Islam terhadap Barat masih kentara. Dominasi
Barat yang tercermin dalam penguasaan sumber ilmu pengetahuan, adalah kunci
neokolonialisme. Rivalitas Islam terhadp Barat dalam neoimperialisme tampak
semu, jika kekuatan sejarah yang baru ini tidak diwujudkan dalam perbaikan mutu
atau kualitas SDM secara sungguh-sungguh.
Dari sekian rentetan peristiwa kolonialisme-imperialisme
tersebut, yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah hubungan antara
ekspedisi ke wilayah atau penjajahan dengan semangat ilmu pengtahuan yang
menyertainya. Kekuatan militer saat itu telah bertumpu pada kekuatan ilmu
pengetahuan. Penggunaan mitraliur adalah simbol keunggulan ilmu pengetahuan,
dibanding penggunaan tenaga manusia dan kuda secara tradisional. Ketika Belanda
menjajah Indonesia tidak hanya benda dan
kekayaan indonesia yang diboyong untuk membangun negeri Belanda, tetapi di sini
mereka membangun infra struktur penjajah baik dalam bentuk jaringan
perkeretaapian, jalan raya Daendeles, dan lain sebagainya. Agaknya, bentuk
kekuasaan dan keunggulan ilmu pengetahuan seperti itu sangat membedakan antara
era kekuasaan kerajaan-kerajaan bersar Islam baik Moghul, Persi maupun Tuski
Utsmani.
Ada hubungan yang sangat erat antara ‘ilmu
pengetahuan’ dan ‘human interest’, terutama yang terkait dengan kepentingan kekuasaan
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang lain. Dengan lain ungkapan, semakin
berkurang bahkan semakin bertambah.
Lantaran ilmu pengetahuan tidak bebas nilai
maka para orientalis pun dalam kajian orientalisme, mereka mempunyai
kepentingan besar di sini. Untuk motif-motif menjaga status quo budaya Barat
yang sedang menguasai dunia, mereka membuat publik opini, bahwa kebudayaan yang
paling unggul adalah kebudayaan Barat. Mereka menganggap bahwa budaya Timur
begitu rendahnya, sehingga tidak dapat diperhitungkan sama sekali dari
percaturan budaya yang ada.
Hingga sekarang seluruh umat Islam masih dalam
genggaman kekuatan neoimperialisme. Genggaman ini bisa lepas atau setidaknya
dikendorkan hanya lewat etos kerja dan etos keilmuan yang matang dalam kesadaran
kolektif umat Islamsendiri. Jika tidak, hal demikian hanya akan memperpanjang
jangka waktu periode imperialisme saja.