Wednesday, June 17, 2015

Studi Pendidikan Normativitas atau Historisitas?



STUDI ISLAM NORMATIVITAS ATAU HISTORISITAS?

STUDI AGAMA DI INDONESIA: SEBUAH KONSEPSI
Studi Agama di Indonesia: Pendekatan Agama
Masyarakat Indonesia yang pluralistik dalam bidang keagamaannya sangat menunggu-nunggu hasil kajian keilmuan dan penelitian dalam bidang agama serta pemikiran keagamaan yang bersifat positif-konstruktif untuk menopang keterlibatan bersama seluruh pengikut agama-agama di tanah air dalam membina dan memupuk Kerukunan Hidup antar Umat Beragama.
Posisi mayoritas umat Islam di negara kesatuan Republik Indonesia, dalam hubungannya dengan persoalan pluralitas agama, memang sangat unik. Umat Islam di negara Timur Tengah juga merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai pengalaman pluralitas agama seperti yang dirasakan dan dialami oleh Umat Islam di Indonesia. Salah satu keunikan yang membedakan kesadaran adanya pluralitas agama yang dihayati oleh umat Islam Indonesia dan mayoritas umat Islam di negara Timur Tengah adalah keberadaan agama Hindu dan Budha. Kedua agama terakhir ini relatif tidak berkembang di kawasan Timur Tengah. Baik ditinjau dari sudut telaah sosiologis, psikologis maupun kultural, hal demikian sudah cukup membedakan “muatan” pengalaman dan penghayatan kehidupan pluralitars agama.
Perkembangan IPTEK termasuk di dalamnya perkembangan ilmu sosial kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperdakat jarak perbedaan budaya. Hal demikian, pada gilirannya, juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap ksadaran manusia tentang apa yang disebut fenomena “agama”. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teolagis-normatif semata-mata.
Hampir semua pengamatan sosial-keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi seringkali membawa ke arah ‘ketersekatan’ umat. Ketersekatan yang tidak dapat dihindarkan, barang kali ibarat konsep “manusia” yang bersifat universal, kemudian tersekat oleh berbagai “bahasa” dan “warna kulit”. Suatu ketersekatan yang tidak dapat terhindarkan secara historis. Meskipun begitu, orang melihat sosok tubuh baik yang berkulit htam, putih, maupun sawo matang, ia tidak dapat mengingkari untuk menyebutnya sebagai sosok manusia. Jadi, peranan “intelek’ untuk memahami konsep yang bersifat universal dan partikular, antara bersifat “esoteris” dan “eksoteris”, sebenarnya cukup menentukan di sini.
Tinjauan Antropologis-Fenomenologis Agama sebagai Fenomen Manusiawai
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan manusia lewat pintu masuk antropologi, adalah seperti halnya kita mendekati dan memahami “object” agama dari sudut pengamatan yang berbeda-beda. Dari situ akan muncul pemahaman sosiologis, historis, psikologis terhadap fenomena keberagamaan manusia. Namun diakui bahwa berbagai pendekatan tersebut dapat saja terasa dangkal dan amat periferial sifatnya lantaran seringkali pendekatan tersebut tidak menyentuh esensi relegiositas manusia itu sendiri. Para teolog khususnya merasa kurang sreg ketika menerima uraian atau masukan yang disumbangkan oleh pendekatan antropologis terhadap agama.
Teologi sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat sujektif, yakni bahasa sebagai pelaku merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.
Para teolog, agamawan dari berbagai kalangan, terlebih lagi para teolog dan agamawan yang memahami betul seluk-beluk history of relegions sering merasa tidak puas dengan temuan yang dikemukakan oleh pendekatan ilmu sosial dianggap kurang apresiatif terhadap aspek “doktrin”. Atau hasil penelitian agama dengan menggunakan ilmu sosial aspek “normativitas” dari ajaran agama itu sendiri. Dengan lain ungkapan bahwa mereka hanya melihat aspek “eksternalitas” dari keberagamaan manusia tanpa memasuki relung internalitas-kedalaman keberagamaan manusia.
Untuk era pluralitas agama serta mobilitas pendudukyang sangat cepat, tiga pendekatan yaitu pendekatan teologi, antropologi dan fenomenologi, aturannya memang menyatu dalam satu kerangka utuh cara berpikir seorang agamawan sehingga kekurangan yang melekat pada masing-masing pendekatan dapat ditutup dan terdeteksi sedini mungkin.
Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya: Tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama
Munculnya perbedaan antar studi agama kontemporer dengan teologi dan filsafat adalah karena pengaruh empirisme dalam filsafat dan teologi, yang berakibat, kedua ilmu tersebut berubah menjadi ilmu-ilmu humaniora.
Teologi modern tidak hanya merubah wajah kehidupan fisik-material, tapi juga merubah pola kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Untuk  memenuhi kebutuhan psikis material dapat diperoleh dengan cara membeli atau mentransfer teknologi. Namun tidak untuk kebutuhan mental-spiritual.
Jika truth claim hanya terbatas aspek ontologis-metafisis tidak perlu dirisaukan. Namun jika memasuki wilayah sosial politik yang praktis-empiris, maka harapan-harapan besar terhadap peran agama mengatasi problem dunia kini makin pupus.
Jika teologi tak mencermati mekanisme dan metodologi ilmu pengetahuan, maka bahasa para teolog hanya terbatas pada ungkapan reaktif bukan diskurtif, dan semakin jauh dari kenyataan empiris yang digeluti ilmuwan dan manusia yang hidup pada era modern ini.
Mengawali usaha rekonstruktif teologi yang lebih peduli persoalan-persoalan empiris untuk menjawab tantangan zaman, maka perlu diketahui terlebih dulu struktur fundamental teologi, hingga diperoleh kemungkinan mereformulasikannya.
Pengembangan ilmu agama hanya dapat dimulai dengan rekonstruksi teologi, baik melalui wacana filsafat maupun studi agama empiris. Langkah ini harus dilalui, jika mausia beragama menyadari adanya pengaruh perubahan dunia akibat temuan-temuan ilmu pengetahuan.
Etika dan Dialog antar Agama: Perspektif Islam
Pergumulan antara “das sein” (historisitas) dan “”das solen” (normativitas), sebenarnya dimulai sejak awal kehidupan kemanusiaan itu lahir, yamg kemudian tersimbolkan dalam perjuangan dan sejarah hidup Nabi Muhammad dan para Nabi sebelumnya. Para pemerhati sejarah agama Islam sngat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsuna fi al-aswaq) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistik.
Ungkapan yang sering dilafalkan para khatib dan juru dakwah bahwa dalam Al-Qur’an adalah pedoman untuk Hablum min al-Allah dan Hablum min an-Nas, tidak lain dan tidak bukan adalah kode etik tata pergaulan antara manusia sebagai makhluk dengan Sang Pencipta serta etika pergaulan antara sesama manusia, termasuk etika hubungan antar umat beragama.
Tuntunan spiritualitas keberagamaan yang sejuk dan berwajah ramah jauh lebih dibutuhkan oleh manusia modern yang terhampas oleh gelombang besar konsumerirme-materialisme. Sekali lagi dimensi spiritualitas keberagamaan yang erat kaitannya dengan persoalan etika rasional-universal juga dapat dijadikan pintu masuk untuk berdialog secara terbuka dan jauh dari kecurigaan kelembagaan formal keagamaan.
Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama (Tinjauan Pertautan antara ‘Teori’ dan ‘praxis’
Metode filsafat semakin hangat dibicarakan oleh para ilmuwan sosial, setelah metode yang dipergunakan dalam bidng ilmu pasti-alam berkembang pesat dan menyelinap masuk ke dalam wilayah ilmu sosial. Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin membentk ‘unified science’, yang mempunyai progam untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat.
Mencari esensi dan subtansi adalah obsesi para filsuf. Plato adalah sumber inspirasi utamanya. Bahwa di seberang sana ada ‘idea’ yang terpisah, tetap, objektif dan terle[as sama sekali dari kehidupan sehari-hari manusia. ‘idea’ itu permanen, tidak berubah-ubah, transenden, dan itulah ‘hakekat’ yang sesungghnya.
Perlunya perubahan wawasan metodologi penelitian filsafat yang bercorak posivistik ke humanistik-hermeneunitik, agaknya semakin menonjol sosoknya. Bahkan dalam bidang yang paling dekat dengan kulit positivisme sendiri, yakni ilmu pengetahuan ternyata fakor subjektvitas manusia dan kesejarahannya perlu tetap diakui keabsahannya. Bukan hanya aspek logikanya yang terpojok, tetepi juga aspek sujektivitas-kesejarahan manusianya juga perlu digaris bawahi.
Kritik Habermas tidak lain adlah kritik terhdap scientism dan posivisme sudah menjadi “idiologi”. Menurutnya scientisme dan positivisme sudah menjadi idiologi yng tertutup, lantaran idiologi ini berpegang teguh pada hukum yang positif-objektif baik dalam ekonomi, sejarah, sosial sehingga tidak fleksibel lagi dan tidak kondusif untuk melakukan ‘paradigma shift’ dalam menatap realitas struktur sosial yang ada.
Para teolog kurang simpati terhadap pendekatan ilmiah terhadap agama, karena mereka menganggap para ahli ilmu agama mereduksi agama hanya sebagai gejala sosial semata sehingga aspek ‘spiritual’-nya kurang mendapat prioritas.
Berbeda dari arus yang berkembang dalam studi ilmu agama di atas, sebagai bahan pertimbangan, menarik untuk mengkaji telaah Ian Babour tentang kajian agama. Dalam membandingkan metode yang berlaku dalam dunia agama dan dunia ilmu pengetahuan, dia menggarisbawahi unsur ‘sujektivitas’ dari pada agama.
“ISLAMIC STUDIES” DI IAIN: UPAYA PENGEMBANGAN
Studi-Studi Islam: Sudut Pandang Filsafat
Dalam kegiatan keilmuan seorang ilmuan dituntut untuk mempunyai “asumsi dasar” atau “postulasi” yang jelas, yang dibangun di atas dasar pemikiran yang sistematis-metodologis, tanpa asumsi dasar atau postulasi yang kokoh, jelas dan sistematis, maka analisis pemecahan persoalan yang hendak ditawarkantidaklah akan tajam dan sulit mengarah pada titik fokus tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Para mahasiswa dan juga dosen, seringkali masih sulit membedakan secara tegas-proporsional dimana wilayah keilmuan dan dimana wilayah keagamaan. Sifat keilmuan yang lebih menuntut sikap kritis, analitis, metodologis, rasional, historis dan empiris serta menonjolkan sikap sebagai “pengamat”, berbeda dengan sikap keagamaan yang lebih menuntut pada pemihakan subjektif-sepihak (involved) taqlidiyyah, amalan-amalan praktis dan penonjolan sikap sabagai “aktor”. Keterkaitan dan hubungan antara keduanya perlu ditakar ulang untuk dapat melihat secara jernih persoalan-persoalan, hambatan-hambatan yang terkait dengan gerak langkah, pola atau model “Islamic Studies” sebagai program studi di tanah air pada umumnya dan di IAIN dan PTAIS pada khususnya.
Hanya lewat pintu masuk pmahaman islam yang didekati lewat pendekatan “Low Tradition’, maka kajian Historis-empiris dalam wilayah Islamic Studies dapat dimungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Islam tidak lagi dapat dipahami secara monolitik, tapi dipahami secara pluralistik “open ended”, historis empiris. Berbeda dengan kajian Islanm dalam dataran yang bersifat idealistik-monolistik, maka kajian Islam dalam dataran Low Tradition ini sangat kaya nuansa, multi dimensional approaches, multi diskursus, dan lebih tampak wilayah sosio-kulturalnya, dibandingkan warna legal formalnya sesuai dengan jalinan dan anyaman pengaruh budaya setempat yang telah berkembang selama ratusan tahun sebelum hadirnya Islam maupun dengan prases dialog dengan budaya modern-teknologi kontemporer.
Pluralitas agama-agama dunia adalah merupakan realitas kehidupan dunia yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Secara praktis-ralistis sudah tidah pada tempatnya pada era keterbukaan dan globalisasi sekarang ini untuk hanya melaksanakan keberagamaan sendiri tetapi tidak tahu sama sekali atau acuh terhadap keberagamaan orang lain. Isu pluralitas  pemgembangan wilayah Islamic Studies oleh Universitas atau Perguruan Tinggi Islam Swasta di Tanah Air namun lebih dari itu. Justru untuk menunjukkan ketidak-ekslusifan PTAIS di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistis, maka kajian ini perlu diberi tempat yang memadai dalam wilayah Islamic Studies.
Interelasi Ilmu Kalam dengan Ilmu Lainnya
Dalam ilmu pengetahuan yang sepositif, selogis dan sobjektif, ternyata keterlibatan dan campur tangan historisitas kesejarahan manusia sangat mempengaruhi tatanan dan rancang bangun epistemologi ilmu pengetahuan. Justru karena historisitas yang selalu berubah-ubah maka kesalahan, ketidaktepatan, anomali-anomali yang terdapat dalam rumusan ilmu pengetahuan generasi berikutnya dapat dimungkinkan untuk dikoreksi, dibenahi kembali oleh generasi ilmuwan yang datang berikutnya untuk mendekati kebenaran dan gambaran realitas yang sebenarnya.
Dengan meninjau ulang anomli-anomali yang melekat pada rancang bangun epistemologi ilmu kalam dapatlah disimpulkan secara tentatif bahwa ilmu kalam perlu dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia.
Istilah falsafah kalam sebenarnya mengandung cakupan arti yang luas, sekaligus lebih luwes untuk mempertanggungjawabkan gagasan pemikiran seseorang secara terbuka, tanpa dibarengi emosi truth claim yang berlebih-lebihan. Paul Ricour, seorang filosuf Perancis kontemporer, mencatat bahwa perkembangan falsafah tidak dapat dipisahkan sama sekali dari dialog, sentuhan, gesekan dengan perkembangan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan yang mengitarinya. Perlu dicatat sebagai bahan bandingan bahwa semua gagasan pemikiran falsafah yang besar dalam sejarah umat manusia merupakan hasil dialog dengan perkembangan ilmu yang sedang terjadi di sekitarnya.
Keterkaitan ilmu kalam tidak hanya dengan filfasat kontemporer, namun lebih dari itu, ia juga perlu bersentuhan dengan problema ilmu sosial dan kemanuiaan universal yang lain. Untuk mempertajam wawasan historisitas kemanusiaan, ilmu kalam perlu bersentuhan dengan ilmu sosial, baik itu linguistik, antropologi, sosiologi, psikologi, dan sejarah serta berbagai cabangnya.
Rekonstruksi Spiritualitas Islam Menghadapi kehidupan Modern Abad Ke-21
Dalam era modernitas sekarang ini, dunia spiritualitas sebenarnya tidak harus mempunyai keterkaitan atau konotasi dengan kelembagaan tarekat atau tasawuf dalam bentuknya yang lama. Dunia spiritualitas sekarang ini lebih terkait dengan pengalaman beragama yang sebagiaanya dikaji dalam psikologi agama dan sebagian yang lain erat terkait dengan wilayah etika. Dalam format seperti itu, dimensi relegiousitas yang berdasarkan wahyu tetap mewarnai sentral pembahasannya hanya metodologinya yang berbeda. Namun sangat disayangkan psilosophic ethic (wilayah etika) yang terkait dengan pengalaman beragama tidak begitu populer di kalangan pengikut salaf karena dianggap terlalu asing dari wilayah agama.
Dalam literatur psikologi agama, perkembangan spiritualitas yang sehat dan ajar melibatkan komponen ‘fleksibelitas’, selain kerendahan hati dan juga keinginan dari dalam. Barangkali komponen yang pertama yaitu fleksibelitas yang sangat jarang ditemui dalam pembinaan akhlak maupun tasawuf model lama. Padahal untuk pertumbuhan spiritualitas yang sehat unsur iu tidak dapat ditinggalkan.
Ada beberapa point yang perlu dipertimbangkan dalam usaha merekonstruksi spiritualitas Islam. Pertama: doktrin dan ritus-ritus keagamaan yang berdasarkan  Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus bermuara pada jalinan kehidupan spiritual yang hidup antara individu pemeluk agama dengan Allah SWT. Kedua:  ajaran-ajaran dan ritus-ritus keagamaan harus fleksibel dan berkembang. Doktrin-doktrin itu harus cukup elastis untuk dapat mengakomodir keberanekaragaman pengalaman spiritual yang bersifat individual. Ketiga: semangat dan kekuatan organisasi yang utama hendaknya dipersembahkan untuk kehidupan spiritual, bukannya semata-mata ditujukan untuk memperkokoh dan memelihara kelembagaan atau organisasi keagamaan itu sendiri. Keempat: individu-individu pemeluk agama bisa saja berafiliasi bahkan menjadi pengurus sekalipun dalam organisasi keagamaan tertentu, tetapi hendaknya tidak ada ‘individu’ atau otoritas organisasi yang mempunyai kekuasaan spiritualitas yang mengawasi yang lain. Orang yang beragama dapat bekerja sama dan memperkaya kehidupan spiritualitasnya secara bersama-sama dan sederajat. Kekuasaan spiritual yang sebenarnya hanyalah Allah SWT.
ISLAM DAN STUDI KAWASAN
Islam dan Barat: Tinjauan Historis-Kultural
Dalam perang dunia II dunia Islam mulai melepaskan diri dari cengkeraman Barat. Namun dalam banyak hal mereka masih tergantung pada Barat. Dalam era ‘ketergantungan’ yang biasa disebut era ‘neoimperealisme’, dunia ketiga dan dunia Islam pada khususnya mulai menggeliat dengan cara mengoreksi tatanan dunia lama dan ingin merubahnya ke dalam tatanan dunia baru. Tampak sekali warna rivalitas antara kedua kebudayaan. Dalam era kolonialisme, ‘ketergantungan’ Islam terhadap Barat masih kentara. Dominasi Barat yang tercermin dalam penguasaan sumber ilmu pengetahuan, adalah kunci neokolonialisme. Rivalitas Islam terhadp Barat dalam neoimperialisme tampak semu, jika kekuatan sejarah yang baru ini tidak diwujudkan dalam perbaikan mutu atau kualitas SDM secara sungguh-sungguh.
Dari sekian rentetan peristiwa kolonialisme-imperialisme tersebut, yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah hubungan antara ekspedisi ke wilayah atau penjajahan dengan semangat ilmu pengtahuan yang menyertainya. Kekuatan militer saat itu telah bertumpu pada kekuatan ilmu pengetahuan. Penggunaan mitraliur adalah simbol keunggulan ilmu pengetahuan, dibanding penggunaan tenaga manusia dan kuda secara tradisional. Ketika Belanda menjajah Indonesia tidak hanya  benda dan kekayaan indonesia yang diboyong untuk membangun negeri Belanda, tetapi di sini mereka membangun infra struktur penjajah baik dalam bentuk jaringan perkeretaapian, jalan raya Daendeles, dan lain sebagainya. Agaknya, bentuk kekuasaan dan keunggulan ilmu pengetahuan seperti itu sangat membedakan antara era kekuasaan kerajaan-kerajaan bersar Islam baik Moghul, Persi maupun Tuski Utsmani.
Ada hubungan yang sangat erat antara ‘ilmu pengetahuan’ dan ‘human interest’, terutama yang terkait dengan kepentingan kekuasaan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang lain. Dengan lain ungkapan, semakin berkurang bahkan semakin bertambah.
Lantaran ilmu pengetahuan tidak bebas nilai maka para orientalis pun dalam kajian orientalisme, mereka mempunyai kepentingan besar di sini. Untuk motif-motif menjaga status quo budaya Barat yang sedang menguasai dunia, mereka membuat publik opini, bahwa kebudayaan yang paling unggul adalah kebudayaan Barat. Mereka menganggap bahwa budaya Timur begitu rendahnya, sehingga tidak dapat diperhitungkan sama sekali dari percaturan budaya yang ada.
Hingga sekarang seluruh umat Islam masih dalam genggaman kekuatan neoimperialisme. Genggaman ini bisa lepas atau setidaknya dikendorkan hanya lewat etos kerja dan etos keilmuan yang matang dalam kesadaran kolektif umat Islamsendiri. Jika tidak, hal demikian hanya akan memperpanjang jangka waktu periode imperialisme saja.

No comments:

Post a Comment