Wednesday, June 17, 2015

Ushul Fiqih



TUJUAN DITETAPKANNYA HUKUM MENURUT AGAMA ISLAM

Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak, wujud perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, dimensi konkret dalam wujud perilaku mempola yang ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan Rasul-Nya. Hukum Islam juga mencakup subtansi yang internalisasi ke dalam berbagai pranata sosial.
Secara global tujuan syara’ menetapkan hukum yaitu untuk kemashlahatan manusia di dunia serta di akhirat secara menyeluruh. Dan jika diperinci tujuan tersebut ada lima, yaitu al-maqashidul khamsah (المـقالصد الـخـمشة): pertama, memelihara agama, contoh: melaksanakan shalat karena ia merupakan tiang agama; kedua, memelihara jiwa contoh: aturan rambu lalu lintas untuk menghindari terjadinya kecelakaan; ketiga, memelihara akal, contoh: larangan mengkonsumsi khamr dan sesuatu yang memabukkan; keempat, memelihara keturunan, contoh: larangan melakukan zina; dan kelima, memelihara harta, contoh: larangan mengambil hak orang lain (mencuri, merompak, merampok).
Komentar: Islam tidak memandang sebelah mata dalam mengukur aspek-aspek kehidupan manusia sebagai objek tujuan dari penetapan hukum. Ia memandang seluruh elemen yang dijadikan acuan penetapan hukum yang berorientasi pada kemaslahatan seluruh umat manusia.






DAYA IKAT NORMA HUKUM HASIL IJTIHAD

Ijtihad itu ada dua tingkatan: pertama, ijtihad darakil ahkam (menghasilakan hukum yang belum ada); kedua, ijtihad tatbiqil ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat yang menerimanya). Dalam kaidah ushul:  لاجتـهـا د لاجتـهـا د لا يـنـقــض بـا اijtihad itu tidak batal karena ijtihad. Ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kekuatan fikiran mujtahid untuk menjawab suatu permasalahan. Jika hasil ijtihadnya selalu benar disebut ijtihad showab (benar), jika hasilnya salah disebut ijtihad khotto’ (salah), walaupun salah tetap mendapat pahala. Penerapan kaidah tersebut yaitu apabila mujtahid mengijtihadkan suatu masalah setelah hasil ijtihad itu dijalankan kemudian ia mengijtihadkan lagi, maka ijtihad ulang ini tidak dapat membatalkan hasil ijtihad yang pertama, sebagaimana diijtihadkan yang dilakukan orang lain terhadap masalah itu tidak dapat membatalkan ijtihadnya, sebab ijtihad yang kedua bukan dianggap lebih kuat daripada ijtihad yang pertama dan ijtihad orang lain tidak dianggap lebih hak untuk diikuti daipada hasil ijtihadnya.
Komentar: Pada zaman modern sekarang segala aspek kehidupan menjadi kompleks, ketika dihadapkan pada permasalahan dimana di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ditemukan penjelasan hukumnya, maka untuk mengatasinya yaitu dengan jalan ijtihad.







TEHNIK PENGGALIAN MAKNA NASH DALAM AL-QUR’AN

Tehnik penggalian makna nash dalam al-Qur’an terbagi menjadi empat: pertama, ibaratun nash (عــبـارة الـنـص) yaitu petunjuk lafadz kepada suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung dan dikehendaki oleh lafadz nash itu sendiri mengandung makna yang langsung dari lafadz nash tersebut; kedua, isyaratun nash (الـنـص اشـارة) yaitu makna nash yang dimaksud tidak sesuai dengan redaksi; ketiga, dilalatun nash (دلا لـة الـنص) yaitu penunjuk lafadz nash (ketentuan hukum) juga berlaku  atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapat persamaan ‘illat antara keduanya; dan keempat, iqtidla’un nash (اقـتـضاء الـنـص) yaitu petunjuk makna lafadz nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Menurut ulama ushul, dari keempat penunjukan makna nash di atas, maka  maknayang paling kuat yaitu ibaratun nash, kemudian isyaratun nash, kemudian dilalatun nash dan yang terakhir adalah iqtidla’un nash.
Komentar: melalui tehnik penggalian makna nash dalam al-Qur’an ini kita dapat mengetahui kandungan atau ketetapan hukum yang sebenarnya dimaksud dari suatu nash, sehingga menghindarkan pemahaman ketetapan hukum yang keliru.








LAFADZ YANG JELAS MAKNANYA DAN TIDAK JELAS MAKNANYA

Ulama ushul membagi petunjuk makna yang jelas menjadi empat: pertama, zhahir yaitu sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh nash itu sendiri, bukan tujuan asal dari susunan katanya; kedua, nash yaitu sesuatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya, makna tersebut langsung dipaham dari lafadznya; ketiga, mufassar yaitu makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya ta’wil ditunjukkan oleh nash itu sendiri; dan keempat, muhakkam yaitu lafadz yang menunjukkan makna secara jelas sehingga tidak mungkin dita’wil dan di-naskh. Dan dilalah yang tidak jelas dibagi menjadi empat: pertama, khafiy yaitu lafadz yang dilalahnya tersembunyi (samar); kedua, musykil yaitu lafadz yang kurang jelas dilalahnya karena lafadznya terdiri atas beberapa arti atau pertentangan antara dua nash; ketiga, mujmal yaitu lafadz yang sighat-nya tidak menunjukkan pengertian yang dikehendaki dan tidak ada qarinah lafadz; keempat,  mutasyabih yaitu lafadz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafadz itu sendiri.
Komentar: Dengan mengetahui lafadz yang jelas dan tidak jelas maknanya kita dapat memahami suatu nash dengan tepat, jika makna yang tidak jelas maka tidak serta merta menerima apa yang disebut sesuai redaksi tetapi ada tindak lanjut terlebih dahulu agar terhindar pada pemahaman yang sesat atau keliru.







TEHNIK MENGGALI HUKUM ISLAM DENGAN PENDEKATAN MAQASHID SYARI’AH

Inti dari maqashid syari’ah yaitu untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan (mencapai kemashlahatan), karena tujuan penetapan hukum dalam Islam yaitu untuk menciptakan kemashlahatan. Maksud umum menetapkan hukum yaitu: pertama, memelihara segala sesuatu yang dharuri dalam kehidupan manusia (primer), urusan dharuri yaitu sesuatu apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan merusak peraturan hidup. Urusan dharuri meliputi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua, menyempurnakan segala yang dihajati manusia (sekunder), yaitu sesuatu yang diperlukan untuk memudahkan, menanggung kesukaran taklif, dan beban hidup. Apabila hal ini tidak diperoleh tidak merusak peraturan hidup, namun hanya tertimpa kesukaran. Dan ketiga, mewujudakan keindahan bagi individu dan masyarakat (tersier), yaitu semua yang diperlukan oleh kemanusiaan dan kesusilaan. Apabila tidak diperoleh, hanya dipandang tidak baik (tidak boleh) oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera.
Komentar: Semua hukum yang ditetapkan menurut Islam harus berorientasi pada kemashlahatan individu maupun masyarakat dan dunia maupun akhirat, dengan melalui beberapa pertimbangan. Jika tidak maka akan menimbulkan ketimpangan dan berujung pada kerusakan.

No comments:

Post a Comment