TUJUAN
DITETAPKANNYA HUKUM MENURUT AGAMA ISLAM
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi
abstrak, wujud perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, dimensi konkret dalam
wujud perilaku mempola yang ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk
melaksanakan titah Allah dan Rasul-Nya. Hukum Islam juga mencakup subtansi yang
internalisasi ke dalam berbagai pranata sosial.
Secara global tujuan syara’ menetapkan hukum
yaitu untuk kemashlahatan manusia di dunia serta di akhirat secara menyeluruh.
Dan jika diperinci tujuan tersebut ada lima, yaitu al-maqashidul khamsah
(المـقالصد
الـخـمشة): pertama, memelihara agama, contoh: melaksanakan shalat
karena ia merupakan tiang agama; kedua, memelihara jiwa contoh: aturan
rambu lalu lintas untuk menghindari terjadinya kecelakaan; ketiga, memelihara
akal, contoh: larangan mengkonsumsi khamr dan sesuatu yang memabukkan; keempat,
memelihara keturunan, contoh: larangan melakukan zina; dan kelima,
memelihara harta, contoh: larangan mengambil hak orang lain (mencuri, merompak,
merampok).
Komentar: Islam tidak memandang sebelah mata
dalam mengukur aspek-aspek kehidupan manusia sebagai objek tujuan dari
penetapan hukum. Ia memandang seluruh elemen yang dijadikan acuan penetapan
hukum yang berorientasi pada kemaslahatan seluruh umat manusia.
DAYA IKAT NORMA HUKUM HASIL IJTIHAD
Ijtihad itu ada dua tingkatan: pertama, ijtihad
darakil ahkam (menghasilakan hukum yang belum ada); kedua, ijtihad
tatbiqil ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat yang
menerimanya). Dalam kaidah ushul: لاجتـهـا د لاجتـهـا د لا يـنـقــض بـا ا “ijtihad
itu tidak batal karena ijtihad. Ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kekuatan
fikiran mujtahid untuk menjawab suatu permasalahan. Jika hasil ijtihadnya
selalu benar disebut ijtihad showab (benar), jika hasilnya salah disebut
ijtihad khotto’ (salah), walaupun salah tetap mendapat pahala. Penerapan
kaidah tersebut yaitu apabila mujtahid mengijtihadkan suatu masalah setelah
hasil ijtihad itu dijalankan kemudian ia mengijtihadkan lagi, maka ijtihad
ulang ini tidak dapat membatalkan hasil ijtihad yang pertama, sebagaimana
diijtihadkan yang dilakukan orang lain terhadap masalah itu tidak dapat
membatalkan ijtihadnya, sebab ijtihad yang kedua bukan dianggap lebih kuat
daripada ijtihad yang pertama dan ijtihad orang lain tidak dianggap lebih hak
untuk diikuti daipada hasil ijtihadnya.
Komentar: Pada zaman
modern sekarang segala aspek kehidupan menjadi kompleks, ketika dihadapkan pada
permasalahan dimana di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ditemukan penjelasan
hukumnya, maka untuk mengatasinya yaitu dengan jalan ijtihad.
TEHNIK
PENGGALIAN MAKNA NASH DALAM AL-QUR’AN
Tehnik penggalian makna nash dalam al-Qur’an
terbagi menjadi empat: pertama, ibaratun
nash (عــبـارة الـنـص)
yaitu petunjuk lafadz kepada suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung
dan dikehendaki oleh lafadz nash itu sendiri mengandung makna yang langsung
dari lafadz nash tersebut; kedua, isyaratun nash (الـنـص
اشـارة)
yaitu makna nash yang dimaksud tidak sesuai dengan redaksi; ketiga,
dilalatun nash (دلا لـة الـنص) yaitu penunjuk lafadz nash (ketentuan hukum) juga berlaku atas sesuatu yang tidak disebutkan karena
terdapat persamaan ‘illat antara keduanya; dan keempat, iqtidla’un nash (اقـتـضاء الـنـص) yaitu petunjuk makna lafadz nash baru bisa dipahami
secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung
dari suatu teks nash. Menurut ulama ushul, dari keempat penunjukan makna nash
di atas, maka maknayang paling kuat
yaitu ibaratun nash, kemudian isyaratun nash, kemudian dilalatun
nash dan yang terakhir adalah iqtidla’un nash.
Komentar: melalui tehnik penggalian makna nash dalam
al-Qur’an ini kita dapat mengetahui kandungan atau ketetapan hukum yang sebenarnya
dimaksud dari suatu nash, sehingga menghindarkan pemahaman ketetapan hukum yang
keliru.
LAFADZ YANG
JELAS MAKNANYA DAN TIDAK JELAS MAKNANYA
Ulama ushul membagi petunjuk makna yang jelas
menjadi empat: pertama, zhahir yaitu sesuatu yang maksudnya
ditunjukkan oleh nash itu sendiri, bukan tujuan asal dari susunan katanya; kedua,
nash yaitu sesuatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal
yang dimaksud dari susunan katanya, makna tersebut langsung dipaham dari
lafadznya; ketiga, mufassar yaitu makna secara rinci yang tidak
memungkinkan adanya ta’wil ditunjukkan oleh nash itu sendiri; dan keempat,
muhakkam yaitu lafadz yang menunjukkan makna secara jelas sehingga tidak
mungkin dita’wil dan di-naskh. Dan dilalah yang tidak jelas dibagi
menjadi empat: pertama, khafiy yaitu lafadz yang dilalahnya
tersembunyi (samar); kedua, musykil yaitu lafadz yang kurang
jelas dilalahnya karena lafadznya terdiri atas beberapa arti atau pertentangan
antara dua nash; ketiga, mujmal yaitu lafadz yang sighat-nya
tidak menunjukkan pengertian yang dikehendaki dan tidak ada qarinah lafadz;
keempat, mutasyabih yaitu
lafadz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafadz itu sendiri.
Komentar: Dengan
mengetahui lafadz yang jelas dan tidak jelas maknanya kita dapat memahami suatu
nash dengan tepat, jika makna yang tidak jelas maka tidak serta merta menerima
apa yang disebut sesuai redaksi tetapi ada tindak lanjut terlebih dahulu agar
terhindar pada pemahaman yang sesat atau keliru.
TEHNIK MENGGALI
HUKUM ISLAM DENGAN PENDEKATAN MAQASHID SYARI’AH
Inti dari maqashid syari’ah yaitu untuk
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan (mencapai kemashlahatan),
karena tujuan penetapan hukum dalam Islam yaitu untuk menciptakan
kemashlahatan. Maksud umum menetapkan hukum yaitu: pertama, memelihara
segala sesuatu yang dharuri dalam kehidupan manusia (primer), urusan
dharuri yaitu sesuatu apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan merusak
peraturan hidup. Urusan dharuri meliputi agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Kedua, menyempurnakan segala yang dihajati manusia (sekunder),
yaitu sesuatu yang diperlukan untuk memudahkan, menanggung kesukaran taklif,
dan beban hidup. Apabila hal ini tidak diperoleh tidak merusak peraturan hidup,
namun hanya tertimpa kesukaran. Dan ketiga, mewujudakan keindahan bagi
individu dan masyarakat (tersier), yaitu semua yang diperlukan oleh
kemanusiaan dan kesusilaan. Apabila tidak diperoleh, hanya dipandang tidak baik
(tidak boleh) oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera.
Komentar: Semua hukum
yang ditetapkan menurut Islam harus berorientasi pada kemashlahatan individu
maupun masyarakat dan dunia maupun akhirat, dengan melalui beberapa
pertimbangan. Jika tidak maka akan menimbulkan ketimpangan dan berujung pada
kerusakan.
No comments:
Post a Comment