Thursday, September 24, 2015

IMPLEMENTASI REWARD AND PUNISHMENT (CONNECTIONISM) DALAM PENDIDIKAN PERSPEKTIF ISLAM



IMPLEMENTASI REWARD AND PUNISHMENT (CONNECTIONISM) DALAM PENDIDIKAN PERSPEKTIF ISLAM
PAPER
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester
Mata Kuliah : Tafsir II (Tarbawi)
Dosen Pengampu : Teguh Mukidin, S.ud., M.Hum.


Disusun Oleh :

Naila Shifwah             ( 1310110213)

                                                      
     
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
                                                   2014
Implementasi Reward and Punishment (Connentionism) dalam Pendidikan Perspektif Islam
Teori belajar dalam pendidikan pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya proses belajar. Berdasarkan suatu teori, suatu pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan perolehan peserta didik sebagai hasil pembelajaran.[1] Teori yang berkembang dalam pendidikan salah satunya yaitu teori behavioristik. Teori ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan out put yang berupa respon.
Selanjutnya dalam aliran teori belajar behavioristik terdapat beberapa tokoh yang yaitu Ivan Petrovich Pavlov, John B. Watson dengan teori belajar, dan Edward Lee Thorndike. Di sisi penulis akan lebih mengkhususkan pembahasan pada tokoh Edward Lee Thorndike dengan teori belajarnya yaitu connectionism.
Edward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori Stimulus-Respons.  Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) dengan respons (R). Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan atau tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu tidak dapat diamati.
Dapat dikatakan bahwa stimulus akan memberi kesan kepada pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai teori Connectionism. Pendidikan menurut Thorndike yaitu melakukannya dengan menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem.
Dalam teori ini siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya merupakan orang yang berhasil dalam proses belajar. Pementukan stimulus-respons ini dilakukan melalui ulangan-ulangan.[2]
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar yaitu; hukum kesiapan (the law of readiness), hukum latihan (the law of exercise), dan hukum akibat (the law of effect).[3] Pertama, hukum kesiapan (the law of readiness), hukum ini menyatakan kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons. Jika anak peserta didik sudah siap (sudah belajar) maka ia akan siap untuk memunculkan suatu respons atas dasar stimulus (kebutuhan yang diberikan). Hal ini merupakan kondisi yang menyenangkan bagi anak didik dan akan menyempurnakan pemunculan respons. Sebaliknya jika peserta didik belum siap untuk memunculkan respons atas stimulus atau peserta didik merasa terpaksa memberi respons maka ia mengalami kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan respons. Hubungan ini erat kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (punishment). Kedua, hukum latihan (the law of exercise), hukum ini menyatakan bahwa latihan akan menyempurnakan respons, pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang benar. Tetapi pengulangan yang tidak menyenangkan tidak akan membantu dalam proses belajar. Dan ketiga, hukum akibat (the law of effect), hukum ini menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respons. Sementara itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut.
Menurut Throndike bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlansung menurut hukum-hukum tertentu.[4]
Thorndike meneliti perilaku melalui proses coba-coba (trial and error), menurutnya respon akan diberikan atas dasar asas coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus yang muncul. Oleh karena itu, Throndike percaya adanya reward and punishment (penghargaan dan hukuman) serta successes and failures (keberhasilan dan kegagalan).
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai konsep reward and punishment yang terdapat dalam teori Throndike dalam kaitannya dalam pendidikan Islam.
Reward (ganjaran) dalam Bahasa Arab yaitu tsawab, kata ini disebutkan dalam al-Qur’an beberapa kali di antaranya dalam surat Ali Imran ayat 145 dan 148 serta surat an-Nisa’ ayat 134. Dalam surat tersbut, kata tsawab identik dengan ganjaran yang baik. Dalam kaitannya dengan pendidikan dalam Islam makna yang dimaksud dari kata tersebut yaitu pemberian penghargaan (hadiah) terhadap perilaku baik dari peserta didik; atau dalam pengertian yang luas diratikan sebagai alat preventif dan represif yang dapat menjadi pendorong (motivator) belajar peserta didik, serta sebagai penghargaan atas perilaku baik peserta didik dalam proses pembelajaran.
Punishment (hukuman) dalam Bahasa Arab yaitu ‘iqab, di dalam al-Qur’an disebutkan 20 kali dalam 11 surat, di antaranya dalm surat Ali-Imaran ayat 11 dan al-Anfal ayat 13. Dimana i’qab diartikan hukuman (siksa) yang ditujukan atas balasan dosa sebagai akibat perbuatan jahat manusia. Dalam pendidikan Islam ‘iqab diartiakan sebagai preventif dan represif; serta merupakan balasan (hukuman) atas perbuatan tidak baik dari peserta didik.
Dalam al-Qur’an dikemukakan adanya metode penghargaan yaitu orang yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan (pahala atau reward) dari Allah yang bertujuan memberikan kegembiraan kepada peserta didik (manusia), begitu pula orang yang berbuat jahat akan menerima balasan yaitu siksa sebagai hukuman atas perbuatan mereka, sebagaimana dalam surat an-Najm ayat 31:
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# yÌôfuÏ9 tûïÏ%©!$# (#q䫯»yr& $yJÎ/ (#qè=ÏHxå yÌøgsur tûïÏ%©!$# (#qãZ|¡ômr& Óo_ó¡çtø:$$Î/ ÇÌÊÈ  
Artinya:
Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).
            Secara umum ayat itu memaparkan bahwa; pertama, segala sifat kesmpurnaan disandang Allah semata dan semuanya hanya milik Allah. Pengakuan atas apa yang ada di langit dan di bumi tersebut akan memberikan kekuatan dan pengaruh trhadap masalah akhirat yang ada pada hati manusia. Dzat yang menciptakan dan mentakdirkan akhirat adalah Dzat yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Maka Dia yang berkuasa untuk membalas. Dia semata yang menguasai segala sarananya. Allah memiliki kesemuanya itu, antara lain orang yang tersesat dan orang yang mendapat petunjuk. Di sisi Allahmemiliki peran yang sangat berkuasa, dan kedua, kebebasa memilh suatu hal perbuatan Allah sendiri yang menciptakan serta berhak mengaturnya, semua berada dalam kekuasaannya. Sehingga jika Dia menghendaki, niscaya semua akan beriman dan memeluk agama-Nya, tetapi hal tersebut tudak dikehendaki, karena Allah telah memberikan manusia kebebasan memilih dan supaya Dia memberi balasan yakni hukuman (punishment) yang setimpal kepada orang yang berbuat jahat atau melanggar aturan dan memberi balasan berupa anugerah-Nya (reward) pada orang yang berbuta baik.[5]
Dalam pendidikan suatu hadiah merupakan dampak dari keberhasilan yang dicapai, dan menjadi penguat (reinforcement) terhadap hasil belajar. Dan suatu hukuman merupakan dampak dari kegagalan yang dapat mengilangkan perilku yang tidak diinginkan, yaitu peserta didik yang menerima uhkuman cenderung untuk tidak mengulangi kegagalan atau kesalahan yang telah dilakukan olehnya.
Penulis di sini sepakat dengan penerapan reward and punishment yang terdapat dalam teori Throndike yaitu connectionism dan yang merupakan salah satu teori dalam cakupan behavioristik dalam pendidikan khususnya pendidikan yang Islami, karena hal tersebut tidak bertentangan dengan sumber dasar Islam yaitu al-Qur’an. Dan dalam hadits Rasul yaitu hadits tentang perintah orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga untuk mengajarkan seorang anak untuk melaksanakan sholat, juga disinggung pendidikan reward and punishment. Jadi ini memang tidak menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Akan tetapi dalam melaksankannya tentu harus disertai dengan pengendalian dan batasan tertentu agar tidak berlebihan. Sesuai dalam al-Qur’an pendidik memberikan balasan atas perbuatan peserta didik sesuai dengan kapasitas. Selain itu keberhasilan pendidikan bukan hanya ditentukan oleh suatu tindakan dan komponen saja, tetapi semua komponen termasuk tindakan atau interaksi pendidik dan peserta didik dalam pendidikan harus bersinergi agar mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan, yakni menjadikan peserta didik sebagai insan yang pantas menyandang gelar khalifatullah fil ardl.



Daftar Pustaka

Sukmadinata Nana S. 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Suwardi, Endraswara. 2005, Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Pustaka Widyatama: Yogyakarta.
Trianto. 2007, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktifistik. Prestasi Pustaka: Jakarta
Zainur Roziqin, Muhammad. 2007, Moral Pendidikan di Era Global. Averroes Press: Malang.



[1] Trianto. 2007, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktifistik. Prestasi Pustaka: Jakarta, h. 12
[2] Nana S. Sukmadinata. 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Remaja Rosdakarya: Bandung, h. 168
[3] Endraswara Suwardi. 2005, Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Pustaka Widyatama: Yogyakarta, 34-26
[4] Muhammad Zainur Roziqin. 2007, Moral Pendidikan di Era Global. Averroes Press: Malang, h. 64

No comments:

Post a Comment