Monday, June 28, 2021

PENDIDIK SEBAGAI SOSOK MODEL BAGI PESERTA DIDIK

 

PENDIDIK SEBAGAI SOSOK MODEL BAGI PESERTA DIDIK

Oleh: Naila Shifwah

A.    Pendahuluan

Seorang pendidik memiliki kontribusi yang besar dalam pengembangan bahkan perubahan tingkah laku peserta didik. Bukan hanya membantu peserta didik mengembangkan aspek kognitifnya, melainkan membantu peserta didik mengembangkan dan merubah tingkah laku peserta didik menjadi lebih baik.

Dalam konsep pendidikan Islam pendidik bertanggung jawab terhadap peserta didik dalam proses pembelajaran dan juga proses pembelajaran berakhir, bahkan sampai di akhirat. Oleh karena itu pendidik memegang kunci keselamatan ruhani dalam masyarakat. Bahkan pendidik disebut sebagai  spiritual father yaitu bapak ruhani bagi peserta didik.[1]

Dalam pandangan masyarakat Jawa, pendidik atau guru memiliki posisi yang sangat terhormat. Masyarakat Jawa menyebut istilah guru berasal dari kata digugu lan ditiru. Kata digugu (dipercaya) mengandung maksud bahwa guru mempunyai seperangkat  ilmu yang memadai sehingga ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Sedangkan, kata ditiru (diikuti) menyimpan makna bahwa guru merupakan sosok manusia yang memiliki kepribadian yang utuh seningga tindak tanduknya patut dijadikan panutan oleh peserta didik dan masyarakat.[2]

Dengan demikian dalam proses pendidikan peserta didik, pendidik memiliki otoritas sebagai model atau figure bagi peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikannya yaitu insan yang kamil.

Akan tetapi globalisasi telah membawa dampak yang luas di seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia. Dampak modernisasi juga semakin merebak dengan ditandainya pesatnya teknologi dan informasi yang bebas. Hal ini membawa dampak positif dan negatif. Pendidik harus semakin waspada terhadap pada era sekarang. Pasalnya dampak negatif lebih cepat berkembang di masyarakat, yang di dalamnya terdapat peserta didik maupun pendidik itu sendiri. Khususnya pendidik yang merupakan panutan, teladan, atau sosok yang ditiru, ia justru harus membentengi diri terlebih dahulu.

Berdasarkan pemberitaan mutakhir di berbagai media informasi, banyaknya kasus kekerasan fisik maupun kekerasan asusila yang dilakukan oleh oknum pendidik, tragisnya kasus tersebut terjadi di lingkungan lembaga pendidikan dan korban merupakan peserta didik. Kasus korupsi kepala sekolah juga ikut menambah tercoreng citra pendidik sebagai sosok model yang ditiru oleh peserta didik. Kerusakan pendidik sebagai model dan pribadi tersebut membuat peserta didik bingung dalam bercermin dan dalam proses identifikasi diri mereka.

Selain kasus di atas yang menjadi integritas pendidik menurun, juga terdapat realita seroang pendidik yang mampu menjadi model bagi peserta didiknya, mereka memberi contoh gambaran seorang pendidik yang pantas menjadi sosok model, dimana peserta didik mampu untuk mengidentifikasi dirinya sesuai model yang memang layak dan pantas. Seperti beberapa pendidik yang memberikan teladan kepada peserta didiknya dengan menjadi petugas upacara.

Oleh karena itu, di sini penulis akan membahas mengenai pendidik yang menjadi sosok model bagi peserta didik, lebih mengarah pada pendidik di lembaga sekolah yaitu guru akan tetapi dapat diterapkan pendidik pada umumnya. Agar pendidikan akan tercapai sesuai dengan tujuaannya, yaitu menciptakan insan kamil, melalui seorang pendidik yang menjadi model, yang mengantarkan peserta didik pada akhlak yang luhur, spiritual yang kuat dan pengetahuan yang luas.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Mengapa pendidik harus memilki peran sebagai model bagi peserta didiknya?

2. Apa upaya pendidik agar dapat menjadi model bagi peserta didik?

3.  Bagaimana sosok  pendidik yang menjadi model dalam perspektif pendidikan Islam?

 

C.    Pembahasan

      1.   Peran Pendidik sebagai Model

Secara etimologi pendidik berasal dari kata educator, yang biasanya dikenal dengna istilah teacher. Dengan tugasnya meliputi transfer of knowledge sekaligus transfer of value. Al-Ghazali mengatakan bahwa pendidik adalah seorang yang menyempurnakan, membersihkan, dan mengarahkan (peserta didik) kepada Allah Azza Wajalla. Dalam hal ini kedudukan pendidik disejajarkan dalam barisan para Nabi. Sedangkan menurut Winkel pendidik adalah seseorang yang menuntun siswa untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna.[3]

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidik adalah seseorang yang melakukan usaha secara sadar terhadap pengembangan potensi peserta didik agar lebih baik, sehingga menjadi manusia yang utuh yaitu manusia kamil yang mampu mengemban tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi.

Menurut teori kognitif sosial berangkat dari pembelajaran observasional. Manusia belajar berinteraksinya dengan manusia lain. Seorang anak akan belajar dari orang dewasa dengan cara mengamati tindakan orang dewasa. Dari hasil sebuah pengamatan seorang anak dapat membuat imitasi atas tindakan tersebut.[4]

Bagi Bandura, pengamatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap model merupakan proses belajar observasional. Dalam proses tersebut seseorang dapat mengimitasi perilaku, tetapi dapat pula melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan yang diamati.[5] Misal seseorang melihat orang lain mengayuh sepeda kemudian ia menabrak pagar, orang yang melakukan belajar observasional atau pengamatan akan menghindari pagar tersebut.

Dalam proses belajar observasional ini peserta didik membutuhkan sosok untuk dijadikan model. Sebagai orang yang digugu dan ditiru di sini seorang guru atau pendidik dituntut mampu menjadi model bagi peserta didiknya, bahkan dikatakan pendidik merupakan model bagi peserta didik dan juga semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Sebagai model merupakan salah satu peran pendidik yang harus dipenuhi.

Peran ini dibutuhkan oleh seorang peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Peserta didik lebih cenderung mudah memahami sesuatu yang ada pada realita di sekitarnya atau peneladanan, terutama oleh pendidik. Mereka akan merefleksi semua yang ada pada diri pendidiknya. Ketika pendidik gagal untuk menata moral, spiritual dan emosionalnya tidak menutup peluang peserta didik akan mengimitasi kegagalan tersebut.

Sesuai dengan pendidik sebagai father spiritual bagi peserta didiknya. Pendidik merupakan pelita zaman yang menerangi jalan hidup peserta didik, dia pula yang menyirami keringnya jiwa peserta didik dengan embun kesejukan.[6] Dalam perannya ini, pendidik berkewajiban memberikan santapan jiwa, pembinaan akhlak mulia dan meluruskan perilaku yang buruk melalui keteladanan seorang pendidik yang baik serta mulia.

Di sini bisa dilihat pentingnya kedudukan pendidik dalam pendidikan. Pendidik seperti penunjuk jalan kehidupan peserta didik. Keberhasilan pendidikan peserta didik sangat dipengaruhi oleh seorang pendidik. Sebaik apapun landasan, sistem, dan kurikulum pendidikan jika berada di tangan yang tidak tepat maka akan menjadi sia-sia bahkan akan menjadi mesin penghancur. Contoh yang sering ditemui, seorang pendidik memerintah peserta didiknya untuk berangkat tepat waktu agar tida terlambat, akan tetapi guru tersebut sering tiba di sekolah ketika bel sudah berbunyi. Maka inilah tanggapan dari peserta didiknya, ‘Pak Guru saja terlambat kenapa saya tidak?’ atau ‘Memerintah kok malah telat sendiri’. Pada kasus seperti ini peserta didik akan meremehkan saja nasehat dari pendidiknya. Dan banyak contoh pendidik yang belum pantas menjadi sosok model yang edukatif.

Pada kasus di atas dapat dipahami bahwa pendidik harus melaksanakan dahulu apa yang ia perintahkan kepada peserta didiknya, meliputi dari tingkah laku, akhlak, dan ilmu yang diajarkan. Jangan sampai ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang dikatakannya sendiri[7]. Allah berfirman dalam surat ash-Shaff (61) ayat 2-3:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ   uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs? ÇÌÈ  

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Mengapa peneladanan sangat efektif untuk internalisasi dalam proses pembelajaran? Karena murid (peserta didik) secara psikologis senang meniru, dan karena sanksi-sanksi sosial yaitu seseorang akan merasa bersalah jika tidak mampu meniru orang-orang di sekitarnya. Dalam Islam bahkan peneladanan ini sangat diistimewakan dengan menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW itu teladan yang baik (uswah khasanah).[8]

Tugas utama pendidikan ialah membantu manusia menjadi manusia. Tetapi jika pendidik sebagai orang yang membantu peserta didik menjadi manusia merupakan orang yang gagal menjadi manusia (berpkepribadian buruk) misal, korupsi dan berbuat asusila, bagaimana mungkin ia membantu orang lain sedangkan dirinya sendiri belum menjadi manusia yang utuh. Secara logis produsen yang rusak akan menghasilkan produk yang rusak atau yang lebih rusak rusak.

Pendidikan sendiri merupakan dasar dari kehidupan peserta didik. Peserta didik mengetahui mana sesuatu yang baik dan buruk, mana yang berdosa dan yang tidak, mana yang sopan dan tidak, semuanya ia ketahui melalui pendidikan. Sedangkan dalam pengaplikasian materi pendidikan di sini tidak sebatas pada pengetahuan (knowing), tapi ia juga harus melaksanakannya (doing) dan menjalani kehidupan seperti yang telah ia ketahui  (being). Untuk mencapai pada peserta didik menjalani kehidupan seperti yang telah ia ketahui, pendidik memiliki peran peneladanan sebagai sosok model bagi peserta didiknya. Mereka tidak boleh hanya menyuruh peserta didik menjalankan pengetahuannya sedangkan mereka belum melakukannya.

Dalam proses identifikasi diri peserta didik di era kemajuan teknologi serta informasi yang bebas, peserta didik cenderung lebih tertarik kemudian meniru pada budaya yang bersifat kekinian tanpa adanya pemilihan dan pemilahan (selektif) dahulu. Yang menjadi trend itulah yang menarik perhatian peserta didik masa kini, dan trend yang merasuki jiwa peserta didik di era globlalisasi yaitu trend kebudayaan barat yang liberal, misal free sex, mengkonsumsi narkoba, tawuran.

Agar menghindari peserta didik mencari model sendiri yang belum ada jaminan kesuaiannya dengan nilai-nilai islami-edukatif dan nilai-nilai sosial-kultural, maka guru harus menjadi sosok model yang mengantarkan peserta didik pada manusia yang menjadi manusia seutuhnya.

Pendidik menjadi sosok model bagi peserta didik yaitu pendidik menjadi ukuran dalam norma-norma tingkah laku peserta didik.[9] Segala perkataan dan tindakan pendidik akan menjadi pusat perhatian peserta didik. disadari atau tidak, semua yang dilakukan pendidik akan mudah ditiru oleh peserta didik.[10]

Demikian dahsyatnya pengaruh pendidik, maka seorang pendidik harus senantiasa melakukan kontemplasi diri ats segala hal yang diperbuat. Jangan sampai terjadi perilaku buruk pendidik menjadi potret yang akan ditiru oleh peserta didik.[11]

 

      2.   Upaya Pendidik untuk Menjadi Model

Untuk menjadi model, yang utama pendidik harus berkepribadian luhur. Seorang psikolog terkemuka Profesor Doktor Zakiah Darajdat (1982) menegaskan: “Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina ynag baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa)”.[12]

Pendidik harus memiliki beberapa kompetensi dalam perannya sebagai model yaitu: kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta), kompetensi afektif (kecakapan ranah karsa), dan kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa).[13]

Kompetensi kognitif mengandung bermacam-macam pengetahuan baik yang bersifat deklaratif maupun yang bersifat prosedural. Pengetahuan deklaratif merupakan pengetahuan yang relatif statis-normatif dengan tatanan ynag jelas dan dapat diungkapkan dengan lisan. Sedangkan  pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan praktis dan dinamis yang mendasari keterampilan melakukan sesuatu.[14]

Kompetensi afektif guru guru bersifat tertutup dan abstrak, sehingga sukar untuk diidentifikasi. Kompetensi ranah ini sebenarnya meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi seperti; cinta, benci, senang, sedih, dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain.[15]

Kompetensi psikomotor, secara garis besar kompetensi ranah karsa pendidik terdiri atas dua kategori yaiti: kecakapan fisik umum dan kecakapan fisik khusus. Kecakapan fisik umum direfleksikan dalam bentuk tindakan dan gerakan umum jasmani pendidik seperti duduk, berdiri, berjalan, berjabat tangan, dan sebagainya yang tidak berhubungan dengan aktivitas mengajar. adapun kecakapan fisik khusus, meliputi keterampilan-keterampilan akspresi verbal dan nonverbal tertentu yang direfleksikan pendidik ketika mengelola proses belajar-mengajar.[16]

Cara pendidik agar mampu menjadi model yaitu memenuhi semua kriteria untuk menjadi sosok pendidik yang pantas dijadikan model oleh peserta didiknya. Maka sebelumnya seorang pendidik sebenarnya harus melakukan upaya untuk menarik simpati dari peserta didik, maksudnya untuk menjadi model, pendidik terlebih dahulu harus disukai oleh peserta didiknya. Walaupun tidak tertutup kemungkinan peserta didik meniru pendidik yang tidak disukainya, biasanya hal ini terjadi pada kasus negatif.

Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh F. W. Hart pada 3.725 orang murid Sekolah Menengah Atas. Dalm angket itu dimasukkan 43 macam sifat pendidik. Dari sifat-sifat itu peserta didik harus memilih sifat yang paling disukai dan paling tidak disukainya. Berikut sepuluh sifat yang paling disukai peserta didik tersebut.

1.      Suka membantu dalam pekerjaan sekolah, menerangkan pelajaran dan tugas denga jelas serta mendalam dan menggunakan contoh-contoh sewaktu mengajar.

2.      Riang, gembira, mempunyai perasaan humor dan suka menerima lelucon atas dirinya, dalam batasan yang tidak berlebihan.

3.      Bersikap akrab seperti sahabat, merasa seorang anggota dalam kelompok kelas.

4.      Menunjukkan perhatian pada murid dan memahami mereka.

5.      Berusaha agar pekerjaan kelas menarik, membangkitkan  keinginan belajar.

6.      Tegas, sanggup menguasai kelas, membangkitkan rasa hormat pada peserta didiknya.

7.      Tak pilih kasih, tidak mempunyai anak kesayangan.

8.      Tidak suka mengomel, mencela, mengejek, menyindir.

9.      Betul-betul mengajrkan sesuatu yang berharga kepada peserta didiknya.

10.  Mempunyai pribadi yangmenyenangkan.[17]

 

      3.   Sosok Pendidik yang Menjadi Model perspektif Pendidikan Islam

Segala tingkah laku perbuatan dan carar-cara berbicara pendidik akan ditiru dan didikuti oleh peserta didik. Oleh karena itu sebagai pendidik dalam hal ini harus memberikan contoh yang baik agar peserta didiknya mudah meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya.[18]

Tingkah laku perbuatan Rasulullah Saw merupakan suatu contoh yang baik, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat al-Ahzab (33) ayat 21:

ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Nabi Muhammad SAW sendiri telah memberikan contoh melaksanakan sembahyang sebagaimana dalam sebuah haditsnya:

Dengan contoh tingkah laku perbuatan tersebut, menimbulkan gejala identifikasi yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru. Hal ini sangat penting dalam pembentukan kepribadian peserta didik. ini merupakan suatu proses yang ditempuh peserta didik dalam mengenal nilai-nilai kehidupan. Mula-mula nilai-nilai kehidupan itu diserap peserta didik tidak terasa, kemudian hal ini dapat dimilkinya.[19]

Sebagai uswatun khasanah, maka pendidik yang menjadi sosok model bagi peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam yang utama yaitu Nabi Muhammad SAW. Pengaruh beliau masih sangat kuat dan mendalam serta berakar dalam hati pengikutnya. Bahkan Robert L. Gullick Jr. Dalam buku yang berjudul Muhammad, The Educator (Firmansyah, 2008) memuji Nabi Muhammad sebagai guru besar sejati dengan menyatakan, “Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar”. Firmansyah (2008) menyatakan ada delapan sifat keguruan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu sebagai berikut:

1.      Kasih sayang.

Sifat kasih sayang wajib dimiliki oleh setiap pendidik sehingga proses pembelajaran yang diberikan menyentuh sampai ke hati. Implikasi sifat ini adalah pendidik menolak untuk tidak suka meringankan beban orang lain yang dididik.

2.      Sabar.

Sifat sabar adalah yang dibutuhkan untuk menjadi pendidik yang sukses. Keragaman sikap dan kemampuan memahami yang dimiliki oleh anak didik menjadi tantangan bagi pendidik. Terutama bagi anak didik yang lamban dalam memahami materi dibutuhkan kesabaran yang  lebih dari pendidik untuk mencari cara agar anak didik dapat memahami materi.

3.      Cerdas.

Seorang pendidik harus mampu menganalisis setiap masalah yang muncul dan memberi solusi yang tepat untuk mengembangkan anak didiknya merupakan wujud dari sifat cerdas. Kecerdasan yang dibutuhkan tidak hanya kecerdasan intelektual namun juga kecerdasan emosional dan spiritual.

4.      Tawadhu’.

Rasulullah mencotohkan sifat tawadhu’ kepada siapa saja, baik kepada yang tua maupun kepada yang lebih tua. Sifat tawadhu’ ini akan memudahkan pembelajaran dan memperkuat pengaruh baik pendidik kepada anak didik karena adanya penghormatan.

5.      Bijaksana.

Seorang pendidik tidak boleh mudah terpengaruh dengan kesalahan, bahkan keburukan yang dihadapinya dengan bijaksana dan lapang dada sehingga akan mempermudah menyelesaikan.

 

 

6.      Pemberi maaf.

Anak didik yang ditangani oleh pendidik tentunya tidak luput dari kesalahan maupun yang tidak terpuji. Maka dari itu, pendidik dituntut mudah memberikan maaf meskipun ada sanksi yang diberikan kepada anak didik yang menjadipelaku kesalahan dalam pembelajaran.

7.      Kepribadian yang kuat.

Sanksi bisa jadi tidak diperlukan dalam mengedukasi anak didik memiliki kepribadian yang kuat sehingga memunculkan apresiasi dari anak didik. Secara otomatis, kepribadian yang kuat bisa mencegah terjadinya kesalahan dan mampu menanamkan keyakinan dalam diri anak.

8.      Yakin terhadap tugas pendidikan.

Rasulullah dalam menjalankan tugas mengedukasi secara optimis dan penuh keyakinan terhadap tugas yang diembannya. Allah SWT akan mempercepat pemberian terhadap manusia yang memiliki keyakinan tinggi terhadap keberhasilan setiap tugas yang dilakukan.[20]

Menurut Ibnu Sina seorang pendidik seharusnya cerdas dan bijaksana, taat beragama, mengerti pembinaan akhlak, budi pekerti, pandai membimbing anak-anak, terhormat, jauh daro sifat-sifat negatif (kasar, lemah), tidak banyak mengobrol di hadapan anak-anak, bermuka manis dan ramah, punya prestige (harga diri), bersih dan rapi.[21]

Sedangkan menurut al-Ghazali, seorang yang memiliki akal sempurna dan akhlak terpuji baru boleh menjadi guru (pendidik). Selain itu juga harus didukung dengan sifat-sifat khusus, yaitu:

             1.     Rasa kasih sayang dan simpatik.

             2.     Tulus ikhlas.

             3.     Jujur dan terpercaya.

             4.     Lemah lembut dalam memberi nasehat. Pendidik tidak berlaku kasar terhadap peserta dalam mendidiknya.

             5.     Berlapang dada.

             6.     Memperlihatkan perbedaan individu, dalam arti pendidik hendaknya membatasi peserta didik pada kecerdasan pemahamannya, ia tidak boleh  memberikan pelajaran yang tidak mampu dicapai oleh kemampuan akalnya.

             7.     Mengajar tuntas (tidak pelit ilmu).

             8.     Memiliki idealisme.[22]

Sehingga dari perspektif Pendidikan dalam Islam sosok pendidik yang pantas menjadi model bagi peserta didiknya yaitu pertama memiliki keimanan yang kuat, kedua  berakhlak mulia, dan ketiga cerdas atau berpengetahuan luas.

D.    Kesimpulan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Barnawi dan M. Arifin. 2013, Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.

Efferi, Adri. 2011., Filsafat Pendidikan Islam. Nora Media Enterprise: Kudus.

Jameel Zeeno, Muhammad. 2005, Resep Menjadi Pendidik Sukses (Berdasarkan Petunjuk al-Qur’an dan Teladan Nabi Muhammad).  Hikamah (PT Mizan Publika): Jakarta.

Nasution, S. 2000, Didaktik Asas-Asas Mengajar. Bumi Aksara: Jakarta.

Setyawan, Sigit. 2013, Guruku Panutanku. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI): Yogyakarta.

Syah, Muhibbin. 2000, Psikologi Pendidikan (Dengan Pendekatan Baru). PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Tafsir, Ahmad. 2012, Filsafat Pendidikan Islami. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Uzer Usman, Moh.. 2002. Menjadi Guru Profesional. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Yonny, Acep dan Sri Rahayu Yunus. 2011, Begini Cara Menjadi Guru Inspiratif dan Disenangi Siswa.Pustaka Widyatama: Yogyakarta.

Zuhairini, dkk. 1995, Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarata.



[1] Barnawi dan M. Arifin. 2013, Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta, h. 91-92

[2] Iibid., h. 93.

[3] Adri Efferi. 2011., Filsafat Pendidikan Islam. Nora Media Enterprise: Kudus, h. 79.

[4] Sigit Setyawan. 2013, Guruku Panutanku. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI): Yogyakarta, h. 11.

[5] Ibid., h. 12.

[6] Barnawi dan M. Arifin, Op. Cit., h. 92.

[7] Muhammad Jameel Zeeno. 2005, Resep Menjadi Pendidik Sukses (Berdasarkan Petunjuk al-Qur’an dan Teladan Nabi Muhammad).  Hikamah (PT Mizan Publika): Jakarta, h. 48.

[8] Ahmad Tafsir. 2012, Filsafat Pendidikan Islami. PT Remaja Rosdakarya: Bandung, h. 230.

[9] Moh. Uzer Usman. 2002. Menjadi Guru Profesional. PT Remaja Rosdakarya: Bandung, h. 13.

[10] Acep Yonny dan Sri Rahayu Yunus. 2011, Begini Cara Menjadi Guru Inspiratif dan Disenangi Siswa.Pustaka Widyatama: Yogyakarta, h. 39.

[11] Ibid.

[12] Muhibbin Syah. 2000, Psikologi Pendidikan (Dengan Pendekatan Baru). PT Remaja Rosdakarya: Bandung, h. 226.

[13] Ibid., h. 230.

[14] Ibid., h. 230.-231.

[15] Ibid., h. 232.

[16] Ibid., h. 235.

[17] S. Nasution. 2000, Didaktik Asas-Asas Mengajar. Bumi Aksara: Jakarta, h. 15.

[18] Zuhairini, dkk. 1995, Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarata, h. 181.

[19] Ibid., h. 182.

[20] Barnawi dan M. Arifin, Op. Cit., h. 94-96.

[21] Adri Efferi, Op. Cit., h. 81-82.

[22] Barnawi dan M. Arifin, Op. Cit., h. 96-97.

No comments:

Post a Comment